Lampung Post |
Cerpen
Zulaikha dan Segelas Air yang Tertumpah dari Tangannya
Oleh M. RAUDAH JAMBAK
PEREMPUAN
itu termenung, menatap jauh menembus langit. Tangannya mengelus ubun-ubun
Zulaikha, anaknya yang baru berusia dua tahun itu. Bocah perempuan itu
memandang tak berkedip ke arah ibunya, seperti ikut merasakan keresahan hati
ibunya. Zulaikha pun tak seperti biasanya, dia lebih suka mengelendoti ibunya,
padahal hari begitu cerahnya. Perempuan itu dengan lembutnya membelai-belai
rambut dan mengobral ciumannya ke seluruh wajah Zulaikha, seolah-seolah inilah
hari terakhir kebersamaan mereka. Matahari tepat di atas kepala di saat
perempuan itu memastikan Zulaikha sudah dibuai mimpi.
Matanya tak bekerjap sedikit pun menatap wajah anaknya yang terlelap. Dengan penuh hati-hati, perempuan itu menyingkirkan selimut yang melintas di dahi anaknya yang agak berkeringat. Akibat sentuhan itu, bocah perempuan itu menggaruk dahinya sesaat. Wajah oval mungil itu tampak semakin cantik dalam bias matahari yang menembus kaca jendela, kamar tidur mereka. Perempuan itu perlahan mengibas tangannya untuk mengusir lalat yang melintas tiba-tiba di atas wajah Zulaikha. Kemudian dia mengambil kelambu mungil yang biasa menjadi tameng tidur Zulaikha semasa bayi dulu.
Selanjutnya,
perempuan itu duduk di kursi dekat meja yang di atasnya ada segelas air putih
yang siap untuk diminum. Di sebelahnya, sebotol obat tidur yang berisi penuh.
Kemarin perempuan itu telah membelinya di toko obat di depan rumah mereka.
Keinginan perempuan itu sudah bulat untuk menghabiskan obat itu sekaligus.
Matanya bergantian menatap ke arah gelas minuman dan botol obat tidur itu, ia
menganggap kedua benda itulah akhirnya menjadi penentu segalanya. Namun,
seketika matanya menatap perlahan ke arah Zulaikha, ada terbersit semacam keragu-raguan
di sana.
Harus,
semua harus kuselesaikan dengan caraku! Harus kuselesaikan sekarang juga, jerit
batinnya. Perlahan dengan tangan gemetar perempuan itu membuka tutup botol obat
itu dengan perasaan berdebar-debar. Separuh lebih obat itu kini sudah berpindah
ke telapak tangan kirinya. Dengan perasaan yang lebih mendebarkan, tangan
kanannya menggenggam erat segelas air putih yang telah dipersiapkan.
Selanjutnya diletakkannya kembali gelas dari tangan kanannya, dan kini separuh
obat tidur itu sudah berpindah ke tangan kanannya.
Perlahan-lahan
tangan itu meninggi, mulutnya mulai menganga dan matanya mulai dipejamkan. Tapi
suara igauan Zulaikha seketika menghentikan aksinya. Perempuan itu terpana dan
meletakkan obat tidur itu di atas meja dan segera menuju ke arah Zulaikha,
memandangnya. “Ampunkan ibu, anakku! Apakah kamu yang harus menanggung
dosa-dosa ibu?” Isaknya tertahan. Perempuan itu menyingkirkan selimut kecil
yang menaungi tidur anaknya. Tangannya perlahan mengusap keringat yang mulai
membanjir di dahi bocah perempuan yang terlelap itu. Menyingkirkan selimut yang
melintas seenaknya. Dalam perasaan yang yang sudah teraduk-aduk, makin
teraduk-aduk, melihat wajah anak tanpa dosa itu. Beberapa saat kemudian kedua
tangannya meraba wajahnya, dan seluruh tubuhnya, lalu berhenti di antara kedua
pahanya.
"Kenapa
kau tak mampu menahan diri!"
Seketika
butir-butir air mata menetes satu per satu membasahi pipinya, kemudian
tergelincir jatuh. Tangannya segera meraih tisu dari sakunya, lalu menyeka
pipinya yang basah. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan kamar, seperti
mencari harapannya yang tertinggal. Dia terpaku pada sebuah foto yang berdiri
tegak tepat di atas meja rias kamarnya. Dia segera duduk di depan kaca rias dan
meraih foto itu. Tatapan matanya selalu berganti pada foto dan kaca rias.
Ya,
perempuan itu menatap lekat bergantian wajahnya yang ada di foto dan di cermin.
Batinnya berteriak, "Aku tidak minta dilahirkan cantik!" Mungkin! Ini
penyebabnya. Kecantikannya telah menyebabkan munculnya berbagai peristiwa.
Apalagi usianya masih cukup muda, 25 tahun, mewajarkannya berpenampilan seksi.
Tubuh yang sintal dan kulit yang begitu halus, kuning langsat. Siapa pun pasti
tidak akan membantahnya. Akan tetapi hari ini dia begitu menyesali
kecantikannya. Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya, menjambak rambutnya,
mencakari wajahnya biar wajahnya berubah mengerikan seperti monster.
Biar
tidak seorang pun laki-laki yang memabukkannya dengan berbagai lena. Namun
tangannya kaku, tenggorokannya seakan tersekat benda berat. Dengan perasaan
yang tertekan, perempuan itu mengehempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia
menelentang di samping Zulaikha sambil menekan dan memukulkan bantal ke
wajahnya sendiri.
Perempuan
itu tidak ingin berpikir macam-macam. Perempuan itu tidak ingin melihat
apa-apa. Perempuan itu tidak ingin mendengar apa-apa. Tidak ingin apa pun. Tapi
wajah itu, tubuh itu, terbayang silih berganti datang memenuhi isi kepalanya.
Puluhan kaum borjuis, puluhan kaum intelektual, bahkan ratusan lelaki seakan
memperhatikan dengan mata penuh birahi. Datang berjubel menelanjangi dengan
mata beringas mereka. Tepuk tangan dan decak syahwat yang riuh seperti
menggemuruh ditelinganya. Trauma ketika ia memperagakan pakaian renang musim
panas di atas catwalk. Dengan pakaian renang yang cukup transparan.
"Wah!"
"Hebat!"
"Luar
biasa!"
"Sempurna!
Sempurna!"
Begitulah
seterusnya. Tepuk tangan menggema menembus suara musik dan penerangan lampu
sorot, dengan pandangan biji mata lelaki yang hampir muncrat keluar, perempuan
itulah. Mulai dari barisan depan sampai barisan belakang berebut hendak
mengabadikannya lewat foto.
Dia
betul-betul primadona. Dia adalah figur yang mengagumkan. Setiap inci yang ada
di tubuhnya begitu sempurna. Wajahnya adalah wajah yang menjadi impian banyak
wanita. Tubuhnya adalah impian keinginan setiap pria. Semuanya betul-betul
mencerminkan segala kewanitaannya, melebihi Cleopatra yang pernah menaklukkan
dua Raja Romawi dalam pelukannya. Tuhan seperti telah memberikan anugerah yang
begitu luar biasa padanya. Dan perempuan itu begitu menyadarinya. Dengan
kecantikannya dia mampu menaklukan lelaki mana saja. Menyedot perhatian siapa
saja. Sesungging senyuman semua lelaki yang menatapnya. Selain itu, dia mampu
menjadi duta budaya, kecerdasannya mampu membuat kagum siapa saja. Ketika dia
bicara, dengan kharisma kecantikannya, mampu membungkam ratusan orang untuk
tetap tekun mendengarnya. Dia begitu paham politik. Sangat mengerti ekonomi.
Tidak diragukan di bidang seni, budaya, dan sebagainya. Sungguh-sungguh luar
biasa. Kecerdasan dan kecantikannya berpadu luar biasa. Pernah dia diundang
dalam lomba model tingkat internasional di sebuah negara tetangga. Tetapi hal
itu mendapat reaksi keras rakyat negeri ini. Sebab, mereka tidak ingin
perempuan itu direbut negara lain. Sebab itu pulalah dia diminta untuk menjadi
salah satu calon legislatif dari salah satu partai berkuasa negeri ini.
Walaupun begitu, perempuan itu terus merasa diterpa kerasnya gelombang
kehidupan. Ingar bingar dan kekaguman orang-orang terhadapnya tetap menghempaskannya
ke pantai kesepian.
Bagaimanapun
dia tetaplah wanita. Perseteruan antara mantan pacarnya yang anak pejabat
dengan pengusaha kaya terhadap keabsahan Zulaikha anak siapa, terus merongrong
batinnya. Ada tawaran tes DNA, justru itu kesimpulan yang menyakitkan. Dan
perempuan itu belum memberi persetujuan. Karena wajah inilah yang
menyebabkannya menjadi janda dan kini hatinya menganga dalam kekosongan.
Di
sudut hatinya, kerinduan untuk keluar menghantarkannya mendapatkan hasrat
terhadap kehadiran seorang hakiki. Tidak hanya sekadar dalam hati, tapi hadir
dalam kehidupan nyata. Semula dia beranggapan dengan kecantikan ini dia dapat
memilih lelaki mana saja yang disukai. Tidak seperti lelaki yang selalu
memaksakan terhadap keabsahan Zulaikha. Tetapi ternyata kecantikan dan
kelebihannya justru membuatnya terkungkung terhadap ketakutan lelaki
meminangnya, meragukan kesetiaannya.
Lelaki
hanya beranggapan dia hanya untuk digelimangi dengan suasana hura-hura. Dan,
perempuan itu menyadarinya, ketika beberapa pengusaha muda yang kaya datang
padanya, dia lebih banyak menolak. Hanya satu yang dia tidak ragu, Romi seorang
pria tampan, aktivis organisasi pemuda di daerahnya. dia berusia 30 tahun,
berstatus bujangan. Pertemuan mereka bermula ketika memperagakan busana dari
bahan bulu hewan. Romi protes habis-habisan dan perempuan itu justru
terkagum-kagum padanya.
Sejak
itu mereka sering bertemu, memanen benih rindu. Dan atas prakarsa Romi pulalah
yang mengantarkan perempuan itu menjadi salah seorang caleg dari partai terbesar
negeri ini. Namun, perempuan itu tetaplah wanita, perempuan itu selalu menyerah
dalan pelukan Romi dengan segenap gairah kewanitaannya. Berkali-kali perempuan
itu memanen kerinduan, berkali-kali pula menggugurkan buahnya.
Perempuan
itu selalu kalah. Kekalahannya semakin nyata setelah Romi digantikan Romi-Romi
yang lain. Lebih ganas dan beringas. Sampai pada satu titik, perempuan itu
tidak sedikitpun mencium aroma Romi, apalagi menikmati sosoknya. Pupus sudah
harapannya. Seketika dia bangkit. Perempuan itu meraih gelas yang berisi air
putih di atas meja dan meraih obat tidur yang teronggok liar di sana.
"Sayonara!
Selamat tinggal anakku, Zulaikha! Kita tidak akan bertemu lagi!"
rintihnya.
Tiba-tiba
Zulaikha terbangun, dia memandang manja pada ibunya, setengah merengek.
"Ma,
bobok yok!" ajak Zulaikha meringis.
Perempuan
itu gelagapan. Segera dia meletakkan gelas dan obat tidur itu di atas meja. Dan
segera menuju Zulaikha, rebah di sampingnya.
Perempuan
itu kembali membelai dahi Zulaikha sambil menyanyikan lagu Nina Bobo. Zulaikha
kembali tenteram. Suara azan magrib dari kejauhan terdengar sayup-sayup.
Bersahut-sahutan dengan suara azan dari mesjid terdekat.
Perempuan
itu merasa begitu lelah. Dia menatap langit-langit kamar, menelentang. Suara
jangkrik pun mulai beradu mengantar suasana senja yang temaram. Perempuan itu
setengah ragu, bangkit atau merebahkan diri? Perempuan itu lantas merebahkan
dirinya. Selebihnya dia tak ingat apa-apa lagi. Tertidur dan terlelap.
***
SUBUH
mengambil alih waktu, perempuan itu terbangun. Dia tersentak karena suara azan
terakhir beradu dengan dengus napas disertai desah yang berat. Zulaikha,
putrinya, tergeletak meradang di lantai kamar. Badannya menggelepar hebat
dengan kaki dan tangan mengehentak-hentak, serta mulut yang berbuih. Perempuan
itu seketika merasa jantungnya berhenti berdetak saat dia tidak menemukan obat
tidur di atas meja dan segelas air putih yang kosong tergeletak di samping
Zulaikha yang hampir berhenti bergerak.
*Cerpen telah dimuat di Lampung Post edisi 11 Maret 2012.
Advertisement