google.com |
Cerpen
Di Larang Menyanyi di Kamar Mandi
Oleh Seno Gumira Ajidarma
“SABAR, Pak, sebentar lagi,”
kata hansip.
“Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji. “Masih satu menit lagi,” ujarnya.
Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.
“Ssssstttt!”
“Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji. “Masih satu menit lagi,” ujarnya.
Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.
“Ssssstttt!”
Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah,
bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling
mengasyikkan di dunia. Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang
ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resleting itu, bunyi gesekan
kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita.
Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat
sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantap dan penuh semangat.
Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu.
Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk
ditafsirkan sebebas-bebasnya.
Yang ditunggu Pak RT adalah suara wanita itu. Dan
memang dendang kecil itu segera menjadi nyanyian yang mungkin tidak terlalu
merdu, tapi ternyata merangsang khayalan, menggairahkan. Suara wanita itu
serak-serak basah. Entah apa pula yang dibayangkan orang-orang di balik tembok
dengan suara yang serak-serak basah itu. Wajah mereka seperti orang lupa dengan
keadaan sekelilingnya. Agaknya nyanyian wanita itu telah menciptakan sebuah
dunia di kepala mereka dan mereka sungguh-sungguh senang berada di sana.
Hanya hansip yang masih sadar.
“Benar kan Pak?”
Pak RT tertegun. Suara wanita itu sangat
merangsang dan menimbulkan daya khayal yang meyakinkan, seperti kenyataan.
Pak RT memejamkan mata. Memang segera tergambar
suatu keadaan yang mendebarkan. Bunyi air mengguyur badan jelas hanya mengarah
ke tubuh yang telanjang. Bunyi sabun menggosok kulit boleh ditafsirkan untuk
suatu bentuk tubuh yang sempurna. Dan akhirnya, ya, suara serak-serak basah
itu, segera saja membayangkan suatu bentuk bibir, suatu gerakan mulut, leher
yang jenjang, dan tenggorokan yang panjang—astaga, pikir Pak RT, alangkah
sensualnya, alangkah erotisnya, alangkah sexy!
Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah
berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase
itu mengalami orgasme.
“Aaaaaaahhhhh!”
Dalam perjalanan pulang, hansip memberondongnya
dengan pertanyaan.
“Betul kan, Pak, suaranya sexy sekali?”
“Ya.”
“Betul kan, Pak, suaranya menimbulkan imajinasi
yang tidak-tidak?”
“Ya.”
“Betul kan, Pak, nyanyian di kamar mandi itu
meresahkan masyarakat?”
“Boleh jadi.”
“Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi,
Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum cukup?”
***
Kemarin sore, ibu-ibu warga sepanjang gang itu
memang memenuhi rumahnya. Mereka mengadu kepada Pak RT, bahwa semenjak
terdengar nyanyian dari kamar mandi rumah Ibu Saleha pada jam-jam tertentu,
kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu terganggu.
“Kok Bisa?” Pak RT bertanya.
“Aduh, Pak RT belum dengar sendiri sih! Suaranya
seksi sekali!”
“Saya bilang seksi sekali, bukan hanya seksi.
Kalau mendengar suaranya, orang langsung membayangkan adegan-adegan erotis,
Pak!”
“Sampai begitu?”
“Ya, sampai begitu! Bapak kan tahu sendiri,
suaranya yang serak-serak basah itu disebabkan karena apa!”
“Karena apa? Saya tidak tahu.”
“Karena sering di pakai dong!”
“Dipakai makan maksudnya?”
“Pak RT ini bagaimana sih? Makanya jangan terlalu
sibuk mengurusi kampung. Sesekali nonton BF kek, untuk selingan supaya tahu
dunia luar.”
“Saya, Ketua RT, harus nonton BF, apa
hubungannya?”
“Supaya Pak RT tahu, kenapa suara yang
serak-serak basah itu sangat berbahaya untuk stabilitas sepanjang gang ini. Apa
Pak RT tidak tahu apa yang dimaksud dengan adegan-adegan erotis? Apa Pak RT
tidak tahu dampaknya bagi kehidupan keluarga? Apa Pak RT selama ini buta kalau
hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak gara-gara
nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat ibu Saleha, kehidupan seksual
warga masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami
ibu-ibu sepanjang gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!”
“Lho, lho, lho, sabar dulu. Semuanya harus
dibicarakan baik-baik. Dengan musyawarah, dengan Mufakat, jangan main hakim
sendiri. Dia kan tidak membuat kesalahan apa-apa? Dia hanya menyanyi di kamar
mandi. Yang salah adalah imajinasi suami ibu-ibu sendiri, kenapa harus
membayangkan adegan-adegan erotis? Banyak penyanyi Jazz suaranya serak-serak
basah, tidak menimbulkan masalah. Padahal lagu-lagunya tersebar ke seluruh
dunia.”
“Ooo itu lain sekali, Pak. Mereka tidak
menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi
resleting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak ada bunyi karet celana
dalam. Nyanyian di kamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur telanjangnya,
Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri yang
akan beramai-ramai melabraknya!”
Pak RT yang diserang dari segala penjuru mulai
kewalahan. Ia telah menjelaskan bahwa wanita itu hanya menyanyi di kamar mandi,
dan itu tidak bisa di sebut kesalahan, apalagi melanggar hukum. Namun ia tak
bisa menghindari kenyataan bahwa ibu-ibu di sepanjang gang itu resah karena
suami mereka menjadi dingin di tempat tidur. Ia tidak habis pikir, bagaimana
suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga
mempengaruhi kehidupan seksual sepasang suami istri. Apakah yang terjadi dengan
kenyataan sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga
membuatnya bingung, kenapa para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?
“Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi
kita,” pikirnya.
Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang
serak-serak basah itu, Pak RT mesti mengakui suara itu memang bisa dianggap
seksi dengan gambaran umum mengenai suara yang seksi. Meski begitu Pak RT juga
tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan pergumulan di ranjang mendengar
nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah dengan bunyi byar-byur-byar-byur,
serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit.
Karenanya, Pak RT berkeputusan tidak akan
mengusir wanita itu, melainkan mengimbaunya agar jangan menyanyi di kamar
mandi, demi kepentingan orang banyak.
Di temani Ibu Saleha yang juga sudah tahu duduk
perkaranya, Pak RT menghadapi wanita itu. Seorang wanita muda yang tidak begitu
cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita muda yang hidup dengan sangat
teratur. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun tidur
pada jam yang telah di tentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu
sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara
serak-serak basah.
“Jadi, suara saya terdengar sepanjang gang di
belakang rumah?”
“Betul, Zus.”
“Dan ibu-ibu meminta saya agar tidak menyanyi
supaya suami mereka tidak berpikir yang bukan-bukan?”
“Ya, kira-kira begitu Zus.”
“Jadi selama ini ternyata para suami di sepanjang
gang di belakang rumah membayangkan tubuh saya telanjang ketika mandi, dan
membayangkan bagaimana seandainya saya bergumul dengan mereka di ranjang,
begitu?”
Pak RT sudah begitu malu. Saling memandang dengan
Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-sama sudah merah padam. Wanita yang parasnya
polos itu membasahi bibirnya dengan lidah. Mulutnya yang lebar bagaikan
mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa saja di depannya.
Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat
wajah itu tersenyum penuh rasa maklum. Ia tidak menunggu jawaban Pak RT.
“Baiklah, Pak RT, Saya usahakan untuk tidak
menyanyi di kamar mandi,” ujarnya dengan suara yang serak-serak basah itu,
”akan saya usahakan agar mulut saya tidak mengeluarkan suara sedikit pun,
supaya para suami tidak membayangkan diri mereka bergumul dengan saya, sehingga
mengganggu kehidupan seksual keluarga sepanjang gang ini”.
“Aduh, terimakasih banyak, Zus. Harap maklum,
Zus, saya cuma tidak ingin masyrakat menjadi resah.”
Begitulah semenjak itu, tak terdengar lagi
nyanyian bersuara serak-serak basah dari kamar mandi di ujung gang itu. Pak RT
merasa lega. “semuanya akan berjalan lancar,” pikirnya. Kadang-kadang ia
berpapasan dengan wanita yang penuh pengertian itu. Masih terbayang di benak
Pak RT betapa lidah wanita itu bergerak-gerak membasahi bibirnya yang
sungguh-sungguh merah.
***
Tapi, Pak RT rupanya masih harus bekerja keras.
Pada suatu sore hansip melapor.
“Kaum ibu sepanjang gang ternyata masih resah,
Pak.”
“Ada apa lagi? Wanita itu sudah tidak menyanyi
lagi kan?”
“Betul Pak, tapi menurut laporan ibu-ibu pada
saya, setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur dari kamar mandi itu,
para suami membayangkan suaranya yang serak-serak basah. Dan karena
membayangkan suaranya yang serak-serak basah dan seksi, lagi-lagi mereka
membayangkan pergumulan di ranjang dengan wanita itu Pak. Akibatnya, kehidupan
seksual warga kampung sepanjang gang ini masih belum harmonis. Para ibu
mengeluh suami-suami mereka masih dingin di tempat tidur, Pak!”
“Jangan-jangan khayalan para ibu tentang isi
kepala suami mereka sendiri juga berlebihan! Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu
juga membayangkan yang tidak-tidak meski hanya mendengar jebar-jebur
orang mandi saja?”
Hansip itu tersenyum malu. “Saya belum kawin,
Pak.”
“Aku tahu, maksudku kamu membayangkan
adegan-adegan erotis atau tidak kalau mendengar dia mandi?”
“Ehm! Ehm!”
“Apa itu Ehm-Ehm?”
“Iya, Pak”
“Nah, begitu dong terus terang. Jadi ibu-ibu
maunya apa?”
“Mereka ingin minta wanita itu diusir, Pak.”
Terbayang di mata Pak RT wajah ibu-ibu sepanjang
gang itu. Wajah wanita-wanita yang sepanjang hari memakai daster, sibuk
bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut di kepalanya. Wanita-wanita
yang selalu menggendong anak dan kalau teriak-teriak tidak kira-kira kerasnya,
seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci
baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk
ruang tamu mereka yang sempit.
“Tidak mungkin, wanita itu tidak bersalah. Bahkan
melarangnya nyanyi saja sudah keterlaluan.”
“Tapi imajinasi porno itu tidak bisa dibendung,
Pak.”
“Bukan salah wanita itu dong! Salahnya sendiri
kenapa mesti membayangkan yang tidak-tidak? Apa tidak ada pekerjaan lain?”
“Salah atau tidak, menurut ibu-ibu adalah wanita
itu penyebabnya Pak. Ibu-ibu tidak mau tahu. Mereka menganggap bunyi jebar-jebur
itu masih mengingatkan bahwa itu selalu diiringi nyanyian bersuara serak-serak
basah yang seksi, sehingga para suami masih membayangkan suatu pergumulan di
ranjang yang seru.”
Pak RT memijit-mijit keningnya. “Terlalu,”
batinnya, ”pikiran sendiri yang kemana-mana, orang lain disalahkan.”
Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT
membuatnya hafal, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang
banyak. Sudah berapa maling digebuki sampai mati di kampung itu dan tak ada
seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap memang sudah
seharusnya.
“Begitulah Zus,” Pak RT sudah berada dihadapan
wanita itu lagi. ”Saya harap Zus berbesar hati menghadapi semua ini. Maklumlah
orang kampung Zus, kalau sedang emosi semaunya sendiri.”
Wanita itu lagi-lagi tersenyum penuh pengertian.
Lagi-lagi ia menjilati bibirnya sendiri sebelum bicara.
“Sudahlah, Pak, jangan dipikiri, saya mau pindah
ke kondominium saja, supaya tidak mengganggu orang lain.”
Maka hilanglah bunyi jebar-jebur pada
jam yang sudah bisa dipastikan itu. Ibu-ibu yang sepanjang hari cuma mengenakan
daster merasa puas, duri dalam daging telah pergi. Selama ini alangkah
tersiksanya mereka, karena ulah suami mereka yang menjadi dingin di tempat
tidur, gara-gara membayangkan adegan ranjang seru dengan wanita bersuara
serak-serak basah itu.
***
Pada suatu sore, di sebuah teras, sepasang suami
istri bercakap-cakap.
“Biasanya jam segini dia mandi,” kata suaminya.
“Sudah. Jangan diingat-ingat,” sahut istrinya
cepat-cepat.
“Biasanya dia mandi dengan bunyi jebar-jebur
dan menyanyi dengan suara serak-serak basah.”
“Sudahlah. Kok malah diingat-ingat sih?”
“Kalau dia menyanyi suaranya seksi sekali. Mulut
wanita itu hebat sekali, bibirnya merah dan basah. Setiap kali mendengar bunyi
sabun menggosok kulit aku tidak bisa tidak membayangkan tubuh yang begitu penuh
dan berisi. Seandainya tubuh itu kupeluk dan kubanting ke tempat tidur.
Seandainya ...”
Belum habis kalimat suami itu, seketika istrinya
berteriak keras sekali, sehingga terdengar sepanjang gang.
“Tolongngngngng! Suami saya berkhayal lagi!
Tolongngngngng!”
Ternyata teriakan itu bersambut. Dari setiap
teras rumah, terdengar teriakan para ibu melolong-lolong.
“Tolongngngngng! Suami saya membayangkan adegan
ranjang lagi dengan wanita itu! Tolongngngngng!”
Suasana jadi geger. Hansip berlari kian kemari
menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur
orang mandi, para suami tetap bisa membayangkan adegan ranjang dengan wanita
bersuara serak-serak basah yang seksi itu. Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan
rumah tangga warga sepanjang gang itu akan terganggu.
Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya
menertibkan imajinasi? Tapi sebagai ketua RT yang berpengalaman, ia segera
mengambil tindakan. Dalam rapat besar esok harinya ia memutuskan agar di
kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutuskan bahwa di fitness
centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib
diikuti ibu-ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT
juga sudah berpikir-pikir, pembukaan fitness center itu kelak, kalau
bisa dihadiri Jane Fonda.
Kemudian, di sepanjang gang itu juga berlaku
peraturan baru:
Taman Manggu, 29 Desember 1990
(Cerpen di atas disalin dari situs web Dunia Sukab dengan sedikit pengeditan)
Advertisement