punditschool.net |
Cerpen
Di Kedai Kopi Sajali
Oleh Syafrizal Sahrun
ORANG-ORANG di kampung ini dari
dulu memang tak mau bersusah payah mengurusi takdir. Tak mau membuang-buang
waktu cuma membualkan hal yang dipercayakan sepenuhnya kepada Tuhan. Tuhan yang
sampai kini pun masih diibaratkan sebagai sutradara, sekaligus pengarang
naskah, sebagaimana layaknya dalam drama. Orang-orang di kampung ini pun
menjadikan dirinya sebagaimana pelakon-pelakon yang setia pada kemauan si
sutradara yang sekaligus pengarang naskahnya.
Memang tidak pula bisa dipungkiri, sekali-kali
tercetus juga dari mulut tentang kalau-kalau, jangan-jangan, atau sejenis kata
ulang lain yang bermakna praduga. Tetapi sungguh hal itu jarang sekali.
Orang-orang di kampung ini takut kualat jika Yang Maha Kuasa benar-benar
mendengar. Takut bala ditimpakan kepada mereka.
Inilah yang dikatakan sekali-sekali itu. Dari
mulut Samah meluncur ucapan yang sangat mereka takuti. Ucapan yang ketika
disuarakan membuat kening berkerut dan bibir menipis atau menciut. Samah yang
duduk menghadap steling kedai kopi Sajali, setengah baru mengangkat gelas
kopinya. Samah satu meja dengan Lokot serta Sajali – si pemilik kedai kopi.
Televisi yang dipajang di atas steling bersemuka dengan Samah.
“Hha.. Kelian tengok! Itulah makanya aku
malas berangkat,” kata Samah sambil menunjuk ke televisi yang sibuk menyiarkan
tragedi mesin derek yang roboh di depan pintu Al-Salam, Masjidil Haram. Lokot
dan Sajali memalingkan wajahnya ke belakang. “Kelian pikir orang yang
meninggal itu masuk surga begitu cepat? Tidak,” sambungnya lagi sambil
menawarkan wajah yang kecut kepada Lokot dan Sajali.
Orang berdua tempat berlabuh cerita saling
berpandangan. Saling mengirimkan pesan lewat tatapan mata yang kira-kira
isinya: Gila! Berani kali anjing ini menggonggong begitu.
Televisi yang tak pernah takut kepada lelaki yang
menyimpan tato di pangkal lengan kanannya, yang selalu berusaha meyakinkan
orang-orang bahwa itu adalah gambar jangkar kapal yang dibuat oleh seniman tato
ternama ketika Samah di penjara – padahal orang-orang tahu benar tato itu lebih
mirip payudara – dengan angkuhnya tetap menyiarkan tragedi yang mengharukan dan
sangat disesalkan bagi sebagian besar penduduk dunia. Si penyiar dengan sikap
dan bahasa yang tak menunjukkan kegugupan, mengabarkan kronologis terjadinya
tragedi itu sambil sesekali ditayangkan lokasi dan korban-korbannya.
Samah menaikan lutut kanannya. Di puncak lutut
itu tangan kanannya berpangku. Ia cabut lebai putih yang membungkus kepala
botaknya dan meletakannya di atas meja. Bertetangga dengan kopi yang baru dua
atau tiga kali didirupnya. Asap dari kopi itu masih mengepul. Mengepul
sebagaimana hangat di dada Lokot dan Sajali.
“Jangan begiyan cakap awak, kang
kualat!” Lokot, tukang ayam potong di simpang jalan sana, yang sembilan puluh
persen rambutnya memutih, angkat bicara. Sajali bangkit dan berjalan ke dalam
kedai. Pura-pura menyetel api yang memanaskan air di dandang sedang.
“Tidak. Kan betul kubilang,” suara Samah
lantang dan matanya terbeliak. Diangkatnya gelas kopinya. Belum sampai gelas ke
bibir ia berujar lagi: Dari pada mati di kampung orang, lebih baik mati di
kampung sendiri. Sudah bayar mahal tapi mati mengenaskan.
Lokot tak tahan mendengar ceramah Samah yang jauh
menikam ke lubuk hatinya. Memang korban-korban itu bukan sanak keluarganya,
tetapi secara kemanusian, jangankan mengatakan, mendengar ucapan Samah yang
demikian perutnya mual. Ingin rasanya Lokot muntah di wajah Samah yang
berengsek itu.
“Ini Bang uang kopiku tadi!” Lokot mengeluarkan
uang tiga ribu dari lempitan uang ribuan yang ada di kantongnya. Menjulurkan
kepada Sajali. Sajali mendekat dan mengambil uang itu. “Cepat tutup, Bang!
Bisa-bisa kualat kedai Abang ini.” ucap geram Lokot sambil bola matanya melirik
kepada Samah. Lantas ia pun pulang.
Sajali tersenyum dan kembali ke dalam. Jam
dinding menunjukan pukul sembilan. Malam masih rendah. Di kedainya tinggal
Samah. Lelaki yang di pangkal lengan kanannya terdapat tato jangkar kapal. Jika
bukan pemilik kedai, ingin rasanya Sajali meninggalkan Samah sendiri. Tapi itu
tak mungkin. Sebagai pemilik kedai yang menghargai pelanggan, Sajali duduk
kembali satu meja dengan Samah.
“Jadi Abang berangkat itu?” tanya Samah pada
Sajali.
“Insyaallah,” jawab Sajali sederhana.
“Apa yang Abang cari di sana? Tuhan? atau gelar?
Biar nampak mantap. Kemudian orang-orang akan menamai kedai Abang ini kedai
Haji Sajali. Lalu Abang pun akan disapa bang haji. Heh?!”
Bagi Sajali pertanyaan Samah itu bukanlah
layaknya pertanyan. Sajali merasa Samah memang sudah gila. Atau jangan-jangan
ia sudah murtad dari agamanya. Sajali tersenyum saja mendengar pertanyaan yang
tak perlu jawaban itu.
“Kalau mau mencari tuhan, ngapain
jauh-jauh. Kan tuhan itu dekat tak berjarak. Banyak orang pergi ke
Mekah, begitu pulang cara hidupnya tambah parah. Abang tengoklah si Salim. Dulu
kemain eloknya, Setahun pulang, eh, kawin lagi. Jadi haji kawin dua
kali. Hajah Mona coba Abang tengok. Dulu orangnya pendiam. Sekarang, setelah
jadi ibu hajah, makin sering ikut pengajian, makin senang mempergunjingkan
orang. Jangan-jangan setelah Abang nanti menyandang gelar haji, harga kopi yang
semula tiga ribu, abang naikan jadi lima ribu. Apa sebab? Karena kopi itu
dibuat oleh tangan seorang haji.”
Wajah Sajali naik merah. Badan kurusnya mendadak
panas. Tangannya tanpa ia sadari sudah terkepal dan gemetar. Ingin rasanya ia
labuhkan genggaman tangan itu – yang telah menjadi tempat berkumpul seluruh
tenaganya – ke muka kafir berengsek itu. Manusia biadab itu telah mengotori
kedainya, mengotori hatinya. Dengan memperbanyak istighfar, ia tenangkan
hatinya. Ia sejukkan bara yang marak di dada.
“Anggapanmu itu salah semua,” ucap Sajali dengan
suara yang gemetar. Bukan karena ia takut, melainkan gemetar karena menahan
emosi yang masih ia coba tenangkan. “Aku berangkat bukan karena aku mau
berjumpa tuhan. Lagi pula perkara Tuhan, sudah lama aku menemukannya. Ya,
seperti kau bilang; Ia dekat. Untuk apa sampai ke Mekah mencarinya,” ucap sajali
geram. Dalam hatinya cepat-cepat minta ampun. Ia merasa tuhan pasti tahu kemana
arah ucapannya. “Bila pun aku sudah kembali dari sana nanti, kau pun berhak
menyapaku tanpa kata haji. Begitu juga orang-orang. Haji itu bukan untuk
disebut-sebut. Melainkan untuk dimaknai. Lagi pula bila si Salim mau kawin
seratus kali pun itu haknya. Dia kan manusia juga, bukan lantaran dia sudah
pergi ke Mekah lantas menjadi nabi. Apa hak kita marah? Tapi kalau Istrimu yang
dikawininya sebelum kau ceraikan, barulah ada hakmu marah. Macam si Mona, dia
kan perempuan. Mulutnya saja dua. Lantak dia mau bergunjing. Kan
dosa itu urusan pribadi. Coba kau pikir, mana lebih baik orang yang bergunjing
tapi sudah melaksanakan haji dengan orang yang bergunjing, jangankan pergi haji,
salat sehari sekalipun tidak? Lakunya seperti orang salat. Kemana-mana pakai
lebai. Kesannya biar nampak dekat dengan kebenaran.” Sajali meresa bahagia
mengucapkan kalimat-kalimat panjang itu. “Udah sejuk kutengok kopimu. Mau
kutukar dengan yang baru?”
Samah melongo. “Ah, tak payah, Bang! Tapi abang
tongoklah siaran tadi. Menyedihkan sekali cara meninggal orang itu. Tertimpa
mesin derek. Macam tak ada lagi mati yang elok bagi mereka. Entah mati sedang
salat, mati terkelicik sewaktu mengambil wuduk, atau mati jenis lain yang bisa
dibanggakan.”
“Mati bukan urusan kita, Mah! Mau mati
bagaimanapun, urusan masuk surga dan neraka sepenuhnya hak Yang Kuasa. Yang
pasti kita akan mati. Tapi kalau kau mau hidup selamanya, itupun bukan
urusanku. Urusanku hanya menghitung hutang-hutangmu. Bila kau mati dengan cara
sesaleh apa pun, paling ketika tukam aku tak lupa membawa catatan
hutang. Ketika bilal menanyakan tentang hutang-hutangmu, aku tak segan-segan
tunjuk tangan dan menjelaskannya panjang lebar.”
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Tertawa
yang sebenarnya lebih kepada sindiran. Tertawa yang mengisyaratkan kemenangan
dan sela untuk membalas.
“Abang pun kalau mati nanti di Mekah dengan
sesadis apapun, Aku siap menggantikan Abang melanjutkan jualan ini. Termasuk menggantikan
Abang di atas ranjang,” ucap Saman sambil terbahak.
Sajali membendung amarah. Untuk menghargai
pelanggan, dia pun ikut tertawa. Angin malam berputar-putar menyejukkan tubuh
mereka berdua.
“Tapi kalau kau yang mati dengan cara sesaleh
apapun, sedangkan istrimu tak bisa melunasi hutang-hutangmu, jujur, aku tak
sudi berselubang denganmu. Meskipun istrimu merengek-rengek meminta hutang
dibayar dengan tidur seranjang.”
Samah naik pitam mendengar kata yang dia anggap
kurang ajar itu. Dia menganggap Sajali, lelaki kurus itu, tak menghargai tato
yang begitu menobatkannya sebagai preman yang ditakuti preman-preman se
kampungnya, katanya. Dia tepis sekuat tenaga gelas kopi yang ada di depannya
hingga melayang jauh menghantam dinding kedai dan pecah berkecai. Dia bangkit
dari duduknya dan membalikkan meja. Untung Sajali lekas mengelak. Dengan
badannya yang kekar, dia buru Sajali. Setelah berada di dekat Sajali, dia
ayunkan tangannya yang sudah terkepal ke wajah Sajali. Sajali mengelak.
Mendapati serangan yang tak pas sasaran, emosi Samah makin bergelora. Dia
seakan menjadi seekor anjing liar yang siap membunuh mangsanya. Diserangnya
Sajali bertubi-tubi. Tapi Sajali mampu menyelamatkan diri. Karena takdir, muka
Sajali yang tirus akhirnya mampu didarati kepalan tinju Samah. Sajali Tercampak
masuk ke dalam kedai. Tubuh kurusnya terhempas. Kedai itu habis kacau balau.
Samah terus memburu Sajali. Rasanya kalau tak
mati ia tak mau menyudahi. Saat hendak mengejar Sajali ke dalam, saking
bernafsunya Samah tak sempat melihat ke bawah. Samah menginjak bungkus mie
instan yang tergenang di air yang tumpah. Samah terkelicik. Tubuhnya yang tegap
itu menyeruduk kompor gas yang menjunjung dandang berisi air yang dipanaskan.
“Kesempatan bagus,” ucap Sajali dalam hati. Di
tangan kanannya sudah tergenggam sepucuk pisau yang berkilau diguyur cahaya
lampu. Sajali pun rupanya telah dibutakan amarah. Dia juga berhasrat menghabisi
nyawa lelaki yang memiliki tato mirip gambar payudara itu. Dia lupa akan
berangkat ke Mekah.
Sebelum Sajali melangkah dan menancapkan pisau ke
dada Samah, dandang yang berisi air yang dididihkan itu oleng dari tungkunya.
Samah yang tergeletak di bawah meja kompor itu belum sempat bergerak.
“Awas, Mah!” seru Sajali keras. Dia menanggalkan
pisau yang telah dipegangnya sungguh-sungguh. Menjatuhkannya ke lantai. Dia
ingin menyelamatkan lelaki berengsek itu dari tragedi.
Belum sampai tangan Sajali ke kaki Samah, air
mendidih dalam dandang lebih dahulu mengguyur lelaki yang tadi seolah berubah
menjadi anjing. Samah menjerit dan menggelepar-gelepar menahankan air mendidih
yang memandikan tubuhnya. Membuat jangkar kapal yang berdiam di pangkal lengan
kanannya basah.
Tubuh Samah tak ubahnya seperti kapal yang
diterpa ombak dan tak mampu kemana-mana sebab jangkarnya telah diturunkan. Tapi
siapakah yang telah menurunkan jangkar itu?
Menyaksikan tragedi itu Sajali terduduk. Lemas
tak berdaya. Bagai seorang penonton yang terpedaya dengan keelokan lakon drama
tragis yang baru saja diturunkan layarnya.
Percut, September 2015
Advertisement