kompasiana.com |
MONOLOG
Dokter Jawa
Putu Fajar Arcana
DOKTER
RAHAYU BERTUGAS DI SEBUAH DESA TERPENCIL,
JAUH
DARI IBUKOTA KABUPATEN. PERLU WAKTU HAMPIR 2
JAM
NAIK PERAHU MOTOR. ONGKOS PERAHU DARI IBUKOTA
KABUPATEN
BISA SAMPAI RP 1 JUTA MELINTASI SUNGAI DAN
RAWA-RAWA
PENUH BUAYA.
SETTING:
SEBUAH BERANDA RUMAH SEDERHANA DARI
KAYU
DENGAN HALAMAN YANG CUKUP LUAS. RUMAH INI
DIGUNAKAN
SEBAGAI PUSKESMAS DESA. PADA SEBUAH
PAPAN
DI HALAMAN TERTULIS:
“PUSKESMAS
DESA BISA JAYA”.
DI
DINDING BERANDA TERTEMPEL BEBERAPA POSTER
TENTANG
CARA HIDUP SEHAT, TERUTAMA POSTER-POSTER
TENTANG
PENANGGULANGAN PENYAKIT MALARIA. TAK
JAUH
DARI DINDING ITU, SEBUAH TIMBANGAN TERGANTUNG
LENGKAP
DENGAN SELENDANG BAYI. HANYA ADA SEBUAH
MEJA
TUA DAN BANGKU. DI SITULAH BIASANYA DOKTER
RAHAYU
MENERIMA PASIEN-PASIENNYA. TAK JARANG IA
SENDIRI
TERTIDUR SELONJORAN DI BANGKU PANJANG ITU.
LAMPU
PERLAHAN MENYALA. TERLIHAT DOKTER RAHAYU
SEDANG
TERTIDUR DI BANGKU. TANGANNYA MENJUNTAI
HAMPIR
MENYENTUH LANTAI KAYU. IA TAMPAK SANGAT
LELAH.
JAM DINDING SEDERHANA HADIAH DARI PAK BUPATI
YANG
TERPASANG DI DINDING MENUJUKKAN PUKUL 02.15
DINIHARI.
TERDENGAR SALAK ANJING YANG DIIKUTI OLEH
KERIBUTAN
DI LUAR HALAMAN.
“Aku tak setuju pergi ke Dokter
Jawa itu. Ia macam tukang sihir. Lama-lama kita jadi so Jawa semua. Ah sudah
kita ke Bapak Tibo saja. Jelas ia suku kita…” kata suara lelaki.
“Anak kau ini sudah mau lahir.
Jangan so pikir Jawa atau Papua. Sekarang panggil itu Dokter,” kata suara
perempuan.
“Kau saja yang panggil…Kau kan yang
mau melahirkan...”
“Ini perbuatan kau juga…!”
Itu
suara siapa? (DOKTER RAHAYU TERBANGUN LALU MELIHAT KE SEKELILING HALAMAN).
Masuk saja. Dini hari seperti ini tak baik berada di luar rumah. Ha? Apa?
(SEPERTI MENDENGAR SUARA) Ada yang mau melahirkan? Ya, ya… Melahirkan memang
suka tak kenal waktu. Ia bisa datang kapan saja, seperti juga kematian. Oh,
kematian? Kenapa aku jadi melantur menyebut kematian? Selama 3 tahun aku di
sini, Puskesmas ini jadi saksi bahwa kelahiran dan kematian itu tak pernah
adil.
Kau
boleh ngotot mengatakan ada kelahiran pasti akan diimbangi oleh kematian,
begitukah? Hukum itu membuat jumlah manusia selalu sama. Dan itu kunci eksis
bangsa manusia sampai kini. Begitukah? Pendapat itu sudah harus dikoreksi
sekarang. Di beberapa tempat bahkan kelahiran jauh lebih banyak dari kematian.
Lihat saja kotamu sendiri. Makin hari permukiman menelan sawah-sawah para
petani. Ruko-ruko merambah sampai hutan-hutan pinggiran kota. Itu tandanya
kelahiran lebih banyak dari pada kematian. Setuju kah? (KEPADA PENONTON). Kau
harus setuju, kalau tidak monolog ini tak akan aku lanjutkan… (PANCING PENONTON
SUPAYA MENYAHUT) Kau harus tahu, di sini, hukum keseimbangan itu tidak berlaku.
Sebagai
orang Jawa yang mewarisi ajaran harmoni dari para tetua, aku merasa dibenturkan
pada kenyataan pahit, yang berbeda dengan apa yang pernah diajarkan. Aku jadi
saksi, setiap kesakitan di sini hampir selalu berakhir dengan kematian. Kau
tahu, terkadang aku merasa gagal sebagai dokter. Seharusnya aku bisa menjadi
pencegah kematian. Aku tahu aku bukan malaikat, tetapi kegagalan demi kegagalan
membuatku ingin menanggalkan profesi ini. Kembali jadi manusia biasa, sehingga
tidak harus memikul beban profesi seberat ini. (KEPADA PENONTON) Ah, kau sih
enak, duduk-duduk saja menyaksikan aku bekerja keras berlatih jadi dokter di
daerah terpencil. Itu yang di belakang malah pakai ketawa. Kalau para juri sih
pasti serius atau pura-pura serius supaya honornya cepat cair...(TERTAWA). Tapi
mungkin ini sudah takdirku, bisa tampil di depan publik nasional seperti ini.
Eh jangan pula kau memasang rasa iri ya...
(TERDENGAR
PERTENGKARAN DI LUAR).
Hee..siapa
di sana. Bapak, Mama, masuk saja sini. Ke sini sudah. Jangan lama- lama di luar
sana. Ini Puskesmas satu-satunya di sini. Aku tahu, aku bukan malaikat
penyelamat, tetapi setidaknya bayi dalam kandungan itu punya kesempatan
menghirup udara segar desa ini.
Kalian
berdua sudah tahu, bayi yang lahir di desa ini belum tentu selamat. Bahkan
sudah lahir pun banyak tak punya kesempatan jadi kanak-kanak. Itu anak Bapak
Wanggai yang tinggal dekat dermaga tadi pagi meninggal, Si Sarce anak Bapak
Koga yang dulu lucunya minta ampun sewaktu lahir, dua hari lalu juga tiada.
(KEPADA
PENONTON) Kau tahu sejak semingguan lalu sudah ada 61 anak meninggal di desa
ini. Kau pasti sudah dengar, kabar buruk ini sudah viral di media sosial.
Sebelumnya juga dimuat bertubi-tubi itu di koran.
Katanya,
Bapak Presiden sudah tetapkan ini sebagai kasus gizi buruk terburuk sepanjang
sejarah modern bangsa ini. Kalau aku boleh cerita, begini: (MENYERET BANGKU
MENDEKAT PADA PENONTON), tapi kau harus janji jangan viralkan ini di medsos ya,
semua janji? (TUNGGU REAKSI PENONTON) Aaa… bagus sudah. Begitu, sesama rakyat
harus saling menjaga ya, apa pun suku dan agamanya.
Dulu,
ada kasus desa ini kehabisan beras. Asal kau tahu saja, kita ambil beras dari
kota kabupaten pakai perahu. Itu makan waktu dua hari. Pas waktu itu perahu
pembawa beras katanya pecah setelah tabrak batang kayu di sungai.
Orang-orangnya habis dimakan buaya dan beras hanyut di sungai. Hampir selama
tiga bulan di desa tidak ada beras. Anehnya warga beramai-ramai ke Puskesmas.
Mereka tuding aku sebagai dalang dari semua ini.
Aku
ingat Bapak Tibo sebagai kepala suku bicara paling keras. Dia bilang begini:
“Kami ini cuma orang primitif, jangan kau permainkan. Kami juga ingin makan
beras seperti orang-orang di Jawa. Kami juga ingin modern seperti kau...Tolong
kau bawa beras untuk kami.”
Ketika
aku coba untuk bicara, Bapak Tibo cepat-cepat memerintahku untuk diam. “Kau
minta saja Presiden utus orang- orang Jawa supaya cepat kirim itu beras. Kami
ini bukan cuma lapar tapi juga ingin maju to...”
Bapak
Koga yang dari tadi di belakang maju ke depan. Kulitnya yang hitam gosong
seperti terbakar. Orang-orang warga desa ini memang masih jarang yang pakai
baju.
“Saya
mau bicara. Maaf Bapak Tibo, Dokter Rahayu cuma mau bantu kita orang yang sudah
lama sakit-sakitan. Dokter ini juga sudah bantu lahirkan kita punya anak-anak.
Semua sukarela, tak pernah minta ongkos. Jadi dia tidak punya urusan dengan
beras...”
(BAPAK
TIBO MEMOTONG) “Aaa…bagiamana kau bisa bilang begitu Koga. Dulu ada niat baik
dari orang Jawa yang kirim kita beras. Sekarang kita semua orang sudah makan
beras supaya sehat dan modern. Karena dokter ini dikirim dari Jawa, pasti juga
bisa bawa beras.”
Tidak
Bapak Tibo, aku beranikan diri untuk mulai bicara. Saya dikirim dari Jawa untuk
bantu kesehatan warga. Walau terbatas, saya cuma punya obat-obatan. Mari kita
pikirkan bersama mengatasi ketiadaan beras. Saya ada punya usul, bagaimana
kalau sementara kita kembali makan sagu...
(KATA
BAPAK TIBO) “Mana pula bisa begitu kau bicara. Zaman Presiden dulu, ada bilang
kalau orang Papua mau modern, harus makan itu beras. Makan itu sagu hanya
perpanjang penderitaan. Kami tak mau lagi makan sagu. Sagu berarti penderitaan.
Karena kami juga ingin modern to. Sekarang coba kau pikirkan, supaya kami dapat
beras...”
(KEPADA
PENONTON) Kau pasti berpikir orang-orang di sini kaku dan keras kepala, kan?
Selama di sini aku justru banyak belajar, bagaimana mereka berpikir dan ambil
keputusan. Mereka selalu berpikir lurus, konsisten, dan teguh pegang janji. Ini
yang justru harus aku manfaatkan dengan baik. Tidak seperti kau yang suka
mencla-mencle. Sekarang pilih ini, besok pilih itu, tergantung siapa yang kasi
rezeki…
Bapak
Tibo, begini, kataku kepada kepala suku itu. Saya boleh tanya. Dia mengangguk.
Bapak Tibo dulu dilahirkan Mama setelah kerja sama dengan ada punya Bapak,
bukan? Walau ia tampak bingung, tapi wajahnya jadi lucu ketika ia bilang,”Ah
untuk apa kau tanya-tanya itu? Tanpa mereka mana bisa kita ini ada. Begitu
kah?”
Waktu
Mama dan Bapak kerjasama, mereka ada
makan apa to? Kulihat mukanya bertambah lucu. Setelah celingukan seolah melihat
warga lain, ia bilang,”So pasti makan sagu...” Aku tahu ia mulai terjerat.
Langsung saja aku tarik jerat agar mudah memelintir lehernya.
Setsetsssttt...(TANGAN SEPERTI MELEMPAR JERAT LALU MENARIKNYA). Ketika lehernya
cukup dekat aku katakan kepada dia, nah Bapak dan Mama saja makan sagu, kenapa
kita orang tidak? Ia coba menjawab dengan memelas,”Orang Jawa so bilang, kalau
kau berhenti makan itu Lampiran Naskah Monolog sagu dan mulai makan beras, kau
pasti modern, tidak lagi disebut primitif. Kami di sini semua ingin jadi orang
modern to.”
Bapak
Tibo, jadi modern tak harus makan itu beras. Orang Belanda tak makan beras,
tapi makan roti dari gandum, karena gandum hidup di tanah Belanda. Nah, kalau
di tanah Papua ini tumbuh sagu kenapa kita tidak makan sagu saja? Kita bisa
olah sagu jadi roti. Begitu kah?
“Mana
pula bisa begitu” Tiba-tiba orang yang tadi diam saja bicara. Aku sungguh
ingat, dialah lelaki yang datang Puskesmas malam-malam membawa seseorang yang
terluka. Ia menggendongnya. Katanya, “Dokter jangan banyak tanya, obati saja
dia.”
Aku
minta kepadanya membaringkan lelaki yang luka itu di sini, di bangku ini. Aku
lihat darah mengucur dari dada kirinya. Lukanya cukup parah. Aku tahu ini luka
tembak. Ada peluru bersarang di tubuhnya. “Bapak, dia harus operasi. Saya tidak
punya alat. Jadi Bapak harus bawa dia ke Rumah Sakit Kabupaten.”
“Saya
sudah bilang, kau obati saja. Jangan banyak tanya apalagi kasi itu perintah.”
Ketika mengatakan itu, ia mulai mengacungkan sebuah senjata. Aku sedikit gugup,
tapi coba kusembunyikan dengan memasang muka serius seperti dokter pada
umumnya. Mungkin begini ya, muka serius seorang dokter. (MEMPERLIHATKAN MUKA
SERIUS KEPADA PENONTON) Beginikah?
“Kalau
Bapak tunjuk itu senjata saya tidak bisa bekerja. Bapak duduk sudah di sana,
saya akan keluarkan itu peluru dengan pisau kurang steril, maukah?”
Spontan ia jawab,”Itu terserah, kau dokternya.
Sudah saya bilang kan, jangan banyak tanya.”
Untung
peluru tidak terlalu dalam masuk ke dalam dada lelaki itu. Meski begitu aku
tetap membiusnya. Dengan menggunakan pisau bedah seadanya aku berhasil
mengeluarkan peluru. Ketika mencuci tangan dalam ember di halaman, lelaki itu
mengejar,”Jangan Dokter kasi mati itu teman. Kenapa dia tidak bergerak? Saya
bisa kasi mati juga sama Dokter. Tolong hidupkan lagi...” Senjatanya kembali ia
todongkan kepadaku. Kali ini aku sudah benar-benar menguasai keadaan.
Kukatakan,
“Bapak, tidak banyak gunanya bertempur di gunung-gunung. Mari sini gabung sama
orang kampung. Kita sama-sama hidup sama orang kampung, sama Republik.
Bertempur sama tentara cuma akan hasilkan kematian.” Tanpa kuduga senjatanya ia
simpan ke dalam tas nokennya. Kulihat temannya mulai sadar. Ia kembali
menggendong temannya dan pergi menghilang dalam kegelapan malam.
***
(KEPADA
PENONTON) Aku lanjutkan lagi kisahku dengan orang yang datang malam-malam itu
ya? Kau ada setujukah? Lalu dia bilang begini, “Sagu kami sudah habis dimakan
tentara, apa yang bisa diolah jadi roti.”
Bagaimana
kalau besok pagi kita sama-sama ke hutan cari sagu dan kita olah jadi roti.
Bagaimana Bapak Tibo, Bapak setujukah?
Kami
memang kemudian sama-sama ke hutan. Tapi alangkah kagetnya, pohon sagu sudah
hampir-hampir tak ada lagi. Lahan sagu yang kutahu dulu menghampar di sini,
sudah berubah jadi hamparan sawit yang begitu luas. Waktu itu, Bapak Tibo dan sebagian
besar warga desa langsung berbalik arah dan tidak mengatakan apa-apa.
Sejak
itulah sikapnya mulai mengeras. Ia tetap ngotot ingin makan beras. Dan
pemerintah di Jawa harus bertanggung jawab pada keadaan di sini. Seluruh
tragedi kekurangan gizi di sini, itu karena pemerintah di Jawa telah mengganti
sagu dengan beras. Padahal beras tak pernah ditanam di sini, sehingga harus
selalu didatangkan dari luar pulau.
(KEMBALI
SEPERTI MENDENGAR ADA YANG BICARA DI LUAR HALAMAN PUSKESMAS)
Apa?
Mau melahirkan? Kenapa tidak langsung masuk saja ke Puskesmas. Mari Bapak,
Mama, setiap kelahiran apapun keadaannya harus diberi kesempatan untuk hidup.
Hidup?
(JEDA
SEPERTI MEMIKIRKAN APA YANG BARU SAJA IA KATAKAN)
Di
situlah, terus terang aku merasa gagal sebagai dokter yang dikirim jauh-jauh
dari tanah Jawa sampai ke pedalaman Papua. Di sini, di tengah-tengah kekayaan
alam yang berlimpah, mengapa tragedi gizi buruk itu bisa terjadi? Sungguh tak
bisa kunalar dengan logika kepala. Sudah kucoba menjadikan kematian demi kematian
sebagai energi untuk bertahan. Tetapi bukan kematian benar yang kutangisi,
hidup menderita di tengah kelimpahan berkah itulah yang jadi soal sekarang.
Bagaimana mungkin di surga terjadi kelaparan?
Sampai
suatu hari seorang transmigran asal Bali, yang tinggal tak jauh dari desa ini
menyentak hidupku. Ia kebetulan kemari untuk berobat karena di desanya belum
ada Puskesmas.
Ia
cuma bilang,”Hidup itu harus menanam, tak bisa langsung memetik hasil.” Kalimat
ini begitu sederhana, tetapi membuatku berpikir sepanjang malam. Warga di sini
dulu memang sebagian hidup dari menangkap ikan di sungai dan sebagian lagi
mencari sagu untuk dijual. Tetapi setelah sungai tercemar karena limbah sawit
dan pohon sagu menyusut karena pembukaan perkebunan, kehidupan warga benar-benar
morat-marit. Dengan sedih harus kuceritakan kepadamu, duh anak-anak cuma
disuguhi batok dan sabut kelapa muda. Para orangtua cuma makan buah nipah yang
banyak tumbuh di rawa-rawa. Itu pun kalau masih ada.
Itulah,
seperti yang sudah kau baca kemudian di koran- koran dan viral di media sosial,
desa ini dilanda bencana gizi buruk. Aku merasa harus bertanggung jawab atas
kejadian ini. Rencana semula ingin pulang ke Jawa tahun ini untuk menjenguk ibu
yang makin uzur, aku batalkan. Aku merasa harus di sini bersama- sama warga,
melalui segala kesulitan. Kebersamaan jauh lebih dibutuhkan dalam kesengsaraan
hidup.
Aku
tahu, Bapak Tibo tidak pernah sepaham denganku. Tetapi di ujung penderitaan
hanya kebersamaan yang bisa menyelamatkan hidup kita.
“Dokter
Rahayu,” katanya suatu hari. “Masih untung kami punya dokter. Beras tidak
penting lagi karena kami bisa hidup dari apa saja. Ini kami ada bawa hipere.
Kami tahu Dokter juga sudah lama tidak makan beras. Silakan Dokter.”
Aku
kaget bukan main. Ia bawakan aku segenggam ubi. Ini makanan paling mewah di
saat-saat begini. Belum sempat aku tanyakan dari mana ia peroleh hipere itu,
Bapak Tibo berkata lagi,”Nanti malam kami ada gelar bakar batu, kami undang
Dokter ke desa.” Setelah itu Bapak Tibo pergi begitu saja. Aku berdiri terpaku
di halaman Puskesmas. Kepala Suku yang kupikir kaku dan main kuasa itu,
menyimpan kebaikan yang selama ini tidak pernah diperlihatkannya.
Sepanjang
hari itu aku berpikir, tradisi bakar batu biasanya digelar sebagai ucapan rasa
syukur dan menyambung tali silaturahim warga. Berarti ada hal yang istimewa
sudah terjadi.
“Tenang
Dokter, kami tahu Dokter orang Muslim. Jadi kami tidak pakai itu babi. Kami
cuma bakar daun dan hipere,” kata Bapak Tibo. Ia menyambutku di gerbang
kampung. Sebelum benar-benar tiba di tengah-tengah desa, aku bertanya kepada
Bapak Tibo.
“Bapak,
jika boleh tahu, dari mana seluruh hipere yang dipakai bakar batu?” Bapak Tibo
hanya tersenyum. Ia tak segera menjawab. Pria berbadan kekar walau usianya
sudah di atas 60 tahun itu, cepat-cepat menuntunku ke dalam kerumunan warga. Di
tengah-tengah kampung, warga membuat lingkaran mengelilingi api. Mereka sedang
membakar batu-batu sebesar genggaman orang dewasa.
Kau
pasti tidak kenal upacara bakar batu kan? (KEPADA PENONTON). Kalau belum tahu
juga, sekarang mudah klik situs pencari
di internet, silakan baca ya. Aku tak mau monolog ini berpanjang-panjang
berkisah tentang bakar batu. Aku cuma ingin katakan, di tengah kerumunan warga
itu terdapat orang- orang yang berasal dari luar kampung. Mereka dengan cekatan
melakukan pekerjaan bakar batu, lalu memasukkan hipere dan dedaunan hutan
sebagai sayurnya. Aku tahu, tradisi bakar batu lebih banyak dilakukan oleh
suku-suku di pegunungan Jayawijaya, karena mereka penghasil hipere.
Di
antara kerumunan warga lokal yang malam itu tanpa baju, tiba-tiba aku menangkap
sosok-sosok berbeda. Seseorang di antaranya kukenali sebagai transmigran asal
Bali. Dia yang dulu pernah berobat ke Puskesmas. Ia ditemani oleh 5 orang
lainnya. Mungkin sesama warga transmigran.
“Silakan
Dokter. Saya kenalkan ini orang yang kasi kita selamat dari kelaparan,” kata
Bapak Tibo. Setelah memberi salam kepada para transmigran dan para pemuka suku
pedalaman, aku bertanya,”Jadi Bapak yang sudah membawa hipere ke kampung ini?”
Seseorang
yang berpakaian seperti kepala suku cuma menjawab,”Kami menanam ini semua di
Tanah Papua, tentu untuk orang Indonesia,” katanya.
(MENDEKAT
KEPADA PENONTON)
Nah,
sekarang silakan Saudara-saudara maknai sendiri kata-kata kepala suku dari
pedalaman itu…Aku mohon permisi. Ada pasien yang menunggu di luar halaman.
(MEMANGGIL
KE LUAR HALAMAN)
Bapak,
Mama, ayo masuk sini sudah. Puskesmas ini terbuka untuk siapa saja. Tak perlu
takut sama Dokter Jawa…Kita semua bersaudara to…
Perjalanan
Kereta Api Jakarta-Cirebon PP,
Minggu,
24-25 Februari 2019.
Advertisement