-->

Header Ads

ads here

Naskah Puisi untuk Lomba Baca Puisi FLS2N SMA Kab. Deli Serdang, 2019

advertise here

Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) SMA Kabupaten Deli Serdang tahun 2019 merupakan ajang siswa tingkat SMA se-kabupaten Deli Serdang tahun pelajaran 2018/2019 untuk unjuk kemampuan seni dan sastra. 


Salah satu bidang lomba dalam festival itu adalah lomba baca puisi. Di bidang ini peserta membacakan satu puisi wajib dan satu puisi pilihan di depan juri. Adapun puisi wajib dan puisi pilihan yang dimaksud, diterakan di bawah ini.


Puisi Wajib


Chairil Anwar
                    
KEPADA KAWAN

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertunas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi, isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan, hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Jadi, mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!





Puisi Pilihan


WS Rendra

SAGU AMBON

Ombak beralun, o, mamae.
Pohon-pohon pala di bukit sakit.
Burung-burung nuri menjerit.
Daripada membakar masjid
daripada membakar gereja
lebih baik kita bakar sagu saja.

Pohon-pohon kelapa berdansa.
Gitar dan tifa.
Dan suaraku yang merdu.
O, ikan,
O, taman karang yang bercahaya.
O, saudara-saudaraku,
lihat, mama kita berjongkok di depan kota yang terbakar.

Tanpa kusadari
laguku jadi sedih, mamae.
Air mata kita menjadi tinta sejarah yang kejam.

Laut sepi tanpa kapal layar.
Bumi meratap dan terluka.
Di mana nyanyian anak-anak sekolah?
Di mana selendangmu, nonae?
Di dalam api unggun aku membakar sagu.
Aku lihat permusuhan antara saudara itu percuma.
Luka saudara lulaku juga.




Taufiq Ismail

MEMBACA TANDA-TANDA

Ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya

Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang
dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru
Kita saksikan gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah, kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah, ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukannya.



Abdul Hadi WM

LAGU DALAM HUJAN

Merdunya dan merdunya
Suara hujan
Gempita pohon-pohonan
Menerima serakan
Sayap-sayap burung Lampiran

Merdunya dan merdunya
Seakan busukan akar pohonan
Menggema dan segar kembali
Seakan busukan daun gladiola
Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru
Memintas-mintas cuaca

Merdunya dan merdunya
Nasib yang bergerak
Jiwa yang bertempur
Gempita bumi
Menerima hembusan
Sayap-sayap kata

Ya, seakan merdunya suara hujan
Yang telah menjadi kebiasaan alam
Bergerak atau bergolak dan bangkit
Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni
Melintas dan melewat dalam dingin dan panas

Merdunya dan merdunya
Merdu yang tiada bosan-bosannya
Melulung dan tiada kembali
Seakan-akan memijar api





Ibrahim Sattah

DI KAKI JAKARTA

                                    “Terima kasih, Indonesia Baik
benar hatimu. Niscaya kabar percintaan kita dikawatkan
ke mana-mana dan aku akan lebih lekat menciummu
mencium sisa birahi yang meleleh di kakimu. Ambillah
terimakasihku, Indonesia
kuucapkan dari hati yang kanan
sebelum selamat tidur,
sebelum aku tiba-tiba merasa malu mengenangmu”
(burung-burung dan rama-rama
mengangkat sayapnya
lalu pergi
terbang berdepan dengan
matahari
sebelum akhirnya
kembali mendiamkan
sepi)





Diah Hadaning

DI PUNCAK HENING

sungai hayatku mengalir berliku
menembus bukit waktu
menghanyutkan mengendapkan
batu timbul
batu lumpur
pahala dan karma
sungai hayatku mengalir berliku
menembus gua-gua nuranimu
mengirim denyut bumi gelap pun nikmat
mengirim basah gunung angkuh pun lumat
sungai hayatku mengalir berliku
mencari ujung-ujung nyala kembaramu
sampai kau terbenam
menyelam
timbul tenggelam
dalam renang
sungaiku yang terus mengalir
dan kau yang terus berenang
beritakan kabar tanpa sengketa
kepada peladang di gigir desa
kepada nelayan dekat muara
menyatu aku pun pada lautku
menyatu kau pun pada lautmu
dan menyatu laut-laut itu




Toeti Heraty

KE PELABUHAN

benarkah setiap senja

matahari masih terbenam juga
kasihku?

pernah kupelajari, sudah sekian waktu
yang lalu, bahwa bulan mengitari
dunia, dan dunia matahari –

bulan, yang bagai mangga kemuning
menyandarkan diri pada awan-awan
yang bergerigi
dan matahari terbakar merajai hati
sewaktu mobil menyusur kali dan kali
mengalir ke laut, lautan luas –

benarkah setiap senja?

karena sebelah kiri hanya tampak
nyala jingga langit merenggut-renggut lambaian
bendera dan cakrawala dirembeti gubuk-gubuk,
rapuh dan kelabu –

benarkah begitu -, bahwa
suatu saat matahari dan lautan
akan bersentuhan, dan berjanji

bagai kedahsyatan yang menghilang
dan akan kembali lagi





Samadi

KEPADA IBUKU

Ibuku!
Gunung yang ibu suruh daki sudah kudaki,
Sekarang aku baru sampai di lerengnya,
Duduk sebentar di atas tunggul pohon mati,
Memandang ke bawah ke lembah yang telah kulalui.
Ah, alangkah dekatnya baru kiranya perjalananku
Kalau dibandingkan dengan puncak yang harus kucapai;
Tapi alangkah banyaknya sudah yang kuderita
Dalam hidup yang masih muda…

Ya, ya, ibuku, aku akan turut segala petuamua,
Aku tidak akan kecewa, aku tidak akan berputus asa;
Hanyalah puncak bukit yang tak dapat bertemu dengan lembah,
Tapi bukankah gunung yang tinggi boleh didaki?
Ibuku, sekarang aku baru sampai di lerengnya,
Duduk sebentar di atas tunggul pohon mati,
Memandang ke bawah ke lembah yang telah kulalui.

Kuambil kecapi hadiah ibu dahulu,
Kunyanyikan kembali lagu penderitaanku,
Kuiringi dia dengan suara sendu merayu;
Dengarkan ibu di angin lalu
Senandung hidup dari anakmu




Hartojo Andangdjaja

PEMBURU

Seperti katamu kita pemburu menapak diperbukitan
dibawah menggelombang kemilau hutan

dengus kijang harum bau musang
menusuk rangsang
dan dijauhan burung-burung berkejaran

kita berjalan dan sama sekali tertegun dalam bimbang:
dipundakkanan memberat hitam senapan
dipundak kiri kita sandang kasih sayang

tapi merak berteriak dijauhan
memanggil panjang: pemburu,
lemparkan buang kasih sayang, dimukamu hutan menggelombang

dan liar kita buang kasih sayang
kita menuruni perbukitan menembus kelubuk hutan
dan hidup dalam rangsang deram letusan, jerit kematian
hewan-hewan

dan diakhir perburuan terkejut kita menatap nyalang
sendiri, seperti terjaga dari mimpi
ditengah bangkai-bangkai berkaparan dan sia-sia mencari
kasih sayang yang jauh hilang





Sapardi Djoko Damono

TIGA SAJAK KECIL

/1/

Pada suatu hari seorang gadis
kecil mengendarai selembar
daun meniti berkas-berkas
cahaya.

“Mau kemana, Wuk?”
“Ke Selatan situ.”
“Mau apa, WUK?”
“Menangkap kupu-kupu.”

/2/

Pada suatu siang hari
seorang gadis kecil
belajar menggunting kertas,
gorden, taplak meja;

“Guntingan-guntingan ini
indah sekali, akan kujahit
jadi perca merah, hijau, dan biru
bahan baju untuk ibu.”

/3/

Pada suatu malam hari
seorang gadis kecil
menodong ibunya membaca cerita
nina-bobok sebelum tidur;

“Mala mini Putri Salju,
kemarin Bawang Putih,
besok Sinderela, ya Bu
biar Pangeran datang menjemputku.”





Isma Sawitri

UBUD

yang emas adalah padi
yang hijau adalah padi
yang bernas sesungguhnya padi
yang bergurau kiranya padi
inilah kebenaran pertama sebelum yang lain lain
karena laparlah yang pertama sebelum yang lain lain
sebelum berdirinya pura
sebelum tersusun doa
sebelum raja raja bertahta
Dewi Sri membenihkannya di atas bumi
di sinilah tempatnya ke mana ia harus datang
di sinilah manusianya kepada siapa ia harus datang
setiap musim berganti setiap musim beralih
Dewi Sri tetaplah pelindung pengasih
bagi mereka yang tabah dan tahu berterima kasih
yang emas adalah padi
Dewi Sri membenihkannya di atas bumi
sepanjang usia bumi
sepanjang hidup khayali
yang bernas sesungguhnya padi
Dewi Sri adalah warisan abadi
maka tercipta dongeng atas kenyataan

tercipta keyakinan pada kehidupan


                           

*Klik unduh untuk mendapatkan file PDF puisi-puisi di atas.
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()