-->

Header Ads

ads here

Membaca Cerpen WESEL Karya Irwansyah (1981)

advertise here

Membaca Cerpen WESEL Karya Irwansyah (1981)


Apakah Tuan sudah membaca cerpen yang menjadi juara 1 dalam Lomba Penulisan Cerpen PORSENI Mahasiswa 1981? Judulnya “Wesel”. Dikarang oleh Irwansyah, yang pada tahun itu masih berstatus mahasiswa USU.

Jika Tuan belum membacanya, di bawah ini diturunkan cerpen tersebut yang saya tik ulang dari Warta Mahasiswa edisi September 1981.


Wesel

Oleh Irwansyah

PINTU itu diketuk perlahan. Ada suara menyahut dari dalam. Laki-laki muda itu mengangguk sebelum masuk. Dan laki-laki berkaca mata -Pak Dekan- kembali meneruskan pekerjaannya setelah memperhatikan sejenak.
Laki-laki muda itu berdiri canggung. Matanya menekuri lantai. Sekilas dia menatap ujung sepatu kulitnya yang terkelupas. Peluhnya merambat keluar memenuhi pori-pori. Dari awal-awal laki-laki muda itu sebenarnya ragu untuk menghadap dekannya langsung. Tapi “sikon”  menghendaki dia harus berbuat demikian. Hanya Pak Dekanlah yang bisa memutuskan. Apa boleh buat? Terpaksa, keluhnya.
Suara yang menyapanya mengejutkan laki-laki muda itu. Dia mengangkat muka. Dekannya mempersilakan duduk. Laki-laki muda itu meletakkan tubuhnya hati-hati di kursi berbusa empuk.
“Ada keperluan apa?” tanya Pak Dekan.
Laki-laki muda itu menatap ragu. “Ya, Tuhan! Bagaimana memulainya,” keluh laki-laki muda itu. Mulutnya seperti direkat.
Pak Dekan mengulang tanya yang sama.
“Jangan ragu-ragu,” senyum lembut mengiringi ucapan itu.
Ternyata besar sekali pengaruh senyuman itu. Keraguan hati laki-laki muda itu lenyap. Senyuman itu mendatangkan kekuatan baginya.
“Begini, Pak! Saya mohon diberi kelonggaran waktu untuk membayar uang kuliah”. Seiring habis ucapannya laki-laki muda itu menghela napas panjang. seperti selamat dari buruan. Lega rasanya. Tentang bagaimana hasilnya, terserah!
Pak Dekan menawarkan rokok. Laki-laki muda itu menolak, walaupun saat itu sebetulnya dia ingin sekali. Pak Dekan menyulut sebatang.
“Alasannya?” tanya Pak Dekan setelah menghembuskan asap rokoknya.
Entah dari mana kekuatan yang datang mendorongnya, dengan lancar laki-laki muda itu menceritakan tentang weselnya yang belum kunjung datang. Sudah lama dia minta dikirimi uang kuliah. Lalu tentang balasan orang tuanya yang minta tempo. Uang belum dapat dikirim. Sawah mereka diserang wereng. Sementara uang dipakai dulu untuk membeli racun hama. Akan diusahakan jalan lain. Kemudian tentang suratnya lagi, minta segera dikirimi uang. Keadaan sudah sangat mendesak. Jika tidak, dia tidak bisa ikut ujian semester. Lalu tentang balasan orang tuanya. Jalan lain dengan menjual lembu -satu-satunya lagi- pembajak sawah juga gagal. Lembu mereka mati termakan rumput yang tertumpah racun hama. Sedang dicari jalan lain lagi. Harap sabar!
Laki-laki muda itu berbicara sambil memandang wajah dekannya. Dan laki-laki tua itu juga mengawasinya. Tapi laki-laki muda itu tidak tahu bahwa pikiran Pak Dekan sebenarnya tidak di situ. Dia sedang disergap kenangan lama. Saat dia juga sedang menghadap pimpinan fakultasnya. Juga meminta keringanan waktu untuk membayar uang kuliah. Dengan alasan yang hampir sama.
Wesel kiriman dari orang tua belum juga datang. Jangankan uang kuliah, uang pemondokan saja sudah berbulan menunggak. Untung ibu pemilik rumah bukanlah orang yang mementingkan uang. Dirinya yang sebatang kara dengan pensiunan suami yang cukup untuk makan ditambah lagi dengan paviliun rumahnya yang dikontrak dokter, tidak membuat perempuan tua itu kemaruk uang.
Namun usahanya meminta dispensasi dari pimpinan fakultasnya gagal. Tidak punya uang, jangan kuliah. Perguruan Tinggi bukan jawatan sosial, kata pimpinan fakultasnya. Sakit, sakit sekali. Sungguh sakit jadi orang melarat. Nah, sekarang kesempatan untuk membalas ada. Ayo, apalagi! Kekuasaan ada padamu, rayu suara jauh di dasar hati Pak Dekan. Ayo, apalagi! Apalagi!
Tapi haruskah itu berulang sama pada diri laki-laki muda di depanku? Suara lain datang. Bantulah orang yang benar-benar membutuhkan. Ini kesempatan kau berbuat baik. Kesempatan buat menambah amal di akhirat. Jangan kotori lagi hidupmu yang tersisa.
Ah, masa bodoh dengan nasib laki-laki muda di depanmu! tindas suara yang pertama. Biar dirasakannya apa yang dulu pernah kau rasakan. Masakan kau saja yang merasakan getirnya. Kau sudah pernah merasakan sakitnya. Tapi kau belum pernah merasakan bagaimana puasnya bila bisa membalaskan sakit hati. Sekaranglah masanya. Pergunakanlah kesempatan ini. Pergunakanlah kekuasaanmu. Juga dengan berbuat demikian belum tentu akan menambah lama kau di neraka. Ayo, apalagi! Apalagi!
“Tidak!” serunya tegas.
Laki-laki muda di depannya terkejut.
“Jadi… jadi Bapak tidak dapat mengabulkan permohonan saya?” katanya terbata-bata. Karena persis pada waktu yang sama dia sedang mengharapkan jawaban dari Pak Dekan. Ya, Tuhan! Apa lagi harapanku! Sia-sia semuanya. Jalan terakhir pun sudah kutempuh. Sia-sia saja kuliahku selama ini. Oh!
“Tidak. Oh, bukan…” Pak Dekan menelan sesuatu yang naik ke kerongkongannya, “maksud saya permohonan saudara saya terima.”
Laki-laki muda itu tak kuasa menyambut berita itu dengan kata-kata. Ucapan terima kasih yang ingin di sampaikannya, tidak bisa keluar. Tersekat di tenggorokannya. Dadanya sendat. Sedangkan Pak Dekan membuka kaca matanya. Mengusap sudut matanya. Hampir saja bulir air mata itu menitik. Tapi laki-laki muda di seberang mejanya tidak melihat. Dia sendiri sedang menahan air matanya.
Kedua laki-laki di dalam ruangan itu sedang dicengkram oleh perasaan masing-masing. “Sungguh Maha Pemurah Engkau, Ya Tuhan!” bisik hati si laki-laki muda. “Syukur atas petunjuk-Mu, Ya Rabbi!” bisik hati si laki-laki tua berkaca mata. Sungguh berat berjuang melawan hati sendiri. Segala puji bagi-Mu, Ya Tuhan!
Laki-laki muda itu menyalami Pak Dekan. Kedua laki-laki yang datang dari derita yang sama itu saling bertatapan sejenak. Pak Dekan menepuk bahunya.
Sesungguhnya siang yang teriklah yang menyambut laki-laki muda itu ketika dia meninggalkan gedung fakultasnya. Serta matahari yang garang yang mengantarnya ke tempat kos. Namun sinar mentari seakan menambah energi meringankan ayunan kakinya.
Buku baru saja diletakkannya di meja belajar. Di luar ada suara lonceng sepeda yang cukup dikenalnya. “Pos!” seru laki-laki muda itu. Bergegas dia keluar. Dilihatnya tukang pos memegang buku yang agak kumal. “Oh, wesel! Kau datang juga akhirnya.”
Cepat matanya meneliti jumlah kiriman. Kemudian segi berita. Kakinya tiba-tiba saja dijalari rasa dingin. Lututnya menggigil. Diulangnya sekali lagi membacanya.
“Ayah sudah meninggal. Pulanglah segera.
Ini sekedar ongkos untuk pulang.
Kakakmu.”
Gemetar laki-laki muda itu menandatangani buku ekspedisi.
Matahari sesungguhnyalah garang kini.
-Tamat-
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()