-->

Header Ads

ads here

Babi-babi di Kebun Maryam

advertise here
Oleh Syafrizal Sahrun
bddatabase.net


BAGAIMANA kalau itu terjadi? Si Mati kembali dalam dunia nyata ini menemuimu. "Ah, apa ini?!" pikir Maryam. "Astafirullah...," sambungnya menginsyafi diri. Dielokkannya letak songkok berwarna rebung yang membungkus rambut putihnya.

Umur Maryam hampir tujuh puluh tahun. Umur yang cukup panjang bagi orang-orang masa ini. Tetapi itulah, kakinya masih kuat menungkat tubuh gempalnya. Ia masih sanggup berjalan ke ladang dalam jarak dari sini ke Bagan tanpa singgah beristirahat sekadar minum seteguk dua air.

Yang mati tak mungkin kembali. Maryam yakin itu. Dan yang mati tak mungkin berengkarnasi. Dalam ajaran agama yang dianut Maryam, yang mati akan berpindah ke lain alam. Alam yang tak merenggut usia. Alam yang ibarat terminal, tempat menunggu keberangkatan munuju alam kekal ganjaran dari penghakiman.

Dalam raut wajahnya yang dijalari akar usia, masih jelas terpancar pesona masa mudanya. Bibir yang begitu sensual dengan batang hidung tinggi dan berujung runcing. Pasti banyak lelaki yang tenggelam dalam pesonanya dahulu.

Di bulan ini, puluhan tahun lampau, Maryam kehilangan putra si matawayangnya. Anak itu terbawa air gaib dari tengah laut yang ada di kampung tempat mereka tinggal dulu. Kabarnya kala itu, di pantai dekat rumah mereka, air tiba-tiba surut sampai jauh ke tengah. Ini surut yang tak pernah dialami penduduk kampung. Ikan-ikan begitu saja menghempas-hempaskan diri ke tepian. Melihat itu, orang-orang banyak berkerumun. Seperti mengutip uang yang dijatuhkan langit, mereka bernafsu memunguti ikan-ikan.

Tak disangka tak diduga, air datang gulung-bergulung dalam ketinggian dari tengah laut. Bagai mulut yang besar menganga, melahap pantai dan isinya. Sedang lidah air itu menjilat sampai ketengah-tengah kota. Habis gedung-gudung dan kendaraan-kendaraan luluh-lantak. Orang-orang dipermainkan air dan tak kuasa menolak.

Saat kejadian itu terjadi, Maryam sudah berada di ladangnya. Ladang itu terletak di bukit. Daerah tinggi yang begitu sejuk. Di sanalah Maryam mengurusi tanaman cabainya yang rusak. Satu hari sebelumnya dikabarkan bahwa sekelompok babi hutan datang merusak tanaman yang ada di bukit. Untuk itu selepas sembahyah subuh, Maryam bergegas ke sana menyusuri jalan menanjak yang masih sepi dan sejuk.

Biasanya di hari lubur begini anaknya dibawa Maryam serta. Dapatlah ia nanti membantu sedikit-sedikit di sana. Tetapi, hari ini tidak. Maryam tak sampai hati mengajak anak itu karena menginsyafi keberangkatannya yang begitu subuh. "Biarlah dia tidur," batin Maryam. "Nanti juga dia tahu menyusul ke lading."

Maryam bukanlah orang yang pandai membaca masa akanan. Ketika gempa yang membuat air laut menjadi bak Buto mengamuk dirasakannya ketika berada di Ladang, berulang-ulang dipanggilinya nama anaknya. "Isal...Isal...," katanya. Sembari ia juga menyeru nama tuhan untuk memohon pelindungan. Sesak sekali dadanya. Rasa sesal menjalari perasaannya pula.

Sesuai anjuran pemerintah, Maryam akhirnya turut mengungsi bersama orang-orang yang selamat ke tempat yang lebih aman. Memang tak mudah meninggalkan kampung dalam kondisi ini. Tetapi, apa lagi yang hendak ditunggu. Lapak rumahnya pun sudah sulit ditandai. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Setelah dia hulu-hala mencari, tetap tak ia jumpa anaknya itu. Mayatnya pun tidak. Akhirnya, ia pun merelakan diri pergi memenuhi anjuran pemerintah.

Jauh sudah kampung halaman itu di tinggalkan Maryam. Kini ia sudah membuat rumah kecil di Percut, sebuah kampung di pinggir kota Medan. Dengan bantuan seorang anak yang kehilangan orang tuanya dalam peristiwa yang sama, yang dia angkat sebagai anak, serta dibawanya turut bersama, ia bisa hidup lebih dari cukup. Tetapi, dua bulan ini ia jadi sendiri. Anak itu sudah kawin pula dengan orang Langkat. Bukannya anak itu tak mau membawa bininya tinggal serumah dengan Maryam, melainkan mereka berdua bekerja di Binjai, tempat yang cukup jauh dari Percut. Terpaksalah pengantin baru itu menyewa rumah di sana, dekat tempatnya bekerja.

Dalam kesendirian seperti ini sering kali Isal datang mengusik lamunannya. Membuat rindunya bak air melegak – memburak. Membuat keputusannya membiarkan Isal tidur di rumah dulu menjadi penyesalan yang tak puas-puasnya menggerogoti hati tuanya. Hati yang cukuplah merasakan kepedihan.

Gelap telah lama turun menyelimuti kampung. Selepas sembahyang Isya di kamar dan mengaji beberapa lembar Al-Qur'an, Maryam duduk di anjung rumahnya. Menghadap ke jalan. Di seberang jalan terdapat ladang cabai. Yang kalau dilihat siang hari, nampaklah di antara daunnya yang rimbun ada cabai-cabai muda yang muncul.

Angin malam mengelus-elus tubuh Maryam. Di langit, beberapa bintang berkelap-kelip. Kalau dibayang-bayangkan menyerupai lampu pohon natal. Dari mulut Maryam keluar lantunan surat Maryam. Sebuah surat yang seakan sebati dengan pedih yang ia rasa, dan memang mulai dihapalnya dalam pengungsian ketika peristiwa yang melenyapkan anaknya itu terjadi.

Seperti ilham yang datang diam-diam, lewat kuping tuanya, ia mendengar suara kawanan babi. Suara-suara yang datang dari jauh, kemudian semakin menedekat. Sekarang suara babi-babi itu dirasa ada di kebun cabai di sebarang jalan di depan rumahnya. Babi-babi merusak kebun cabai. "Babi-babi...," ingatan Maryam terputus. Tersadar ia tinggal di Percut. Bagaimana mungkin kampung di tepian paluh ini ada kawanan babi? "Inikan kampung orang Melayu!" serunya dalam kalbu. Di kampung seberang yang ada babi. Letak kampung itu pun jauh dari sini. Bagaimana mungkin kawanan babi bisa lolos melewati kampung-kampung yang rapat penduduk? Ah..


Napas Maryam tersengal. Seketika suasana yang dialaminya beberapa tahun lalu menyergapnya dalam ketidakberdayaan. "Isal...Isal...!" katanya. Tiba-tiba rindunya kepada anak itu semakin meluap-luap tak terbendung. Detak jantungnya jadi lebih berat. Tubuhnya terasa lebih dingin dari musim dingin. Dingin yang berhianat kepada tubuhnya yang semakin hangat.


Ah, yang mati tak mungkin kembali. Maryam yakin itu. Dan yang mati tak mungkin berengkarnasi. Dalam ajaran agama yang dianut Maryam, yang mati akan berpindah ke lain alam. Alam yang tak merenggut usia. Alam yang ibarat terminal, tempat menunggu keberangkatan munuju alam kekal ganjaran dari penghakiman.

Bagaimana kalau itu terjadi? Si Mati kembali dalam dunia nyata ini. Menemuimu. "Ah, apa ini?!" pikir Maryam. "Astafirullah...," sambungnya lagi dalam menginsyafi keadaan. Dielokkannya letak songkok berwarna rebung yang membungkus rambut putihnya. Lalu, ia masuk, meninggalkan kerlip bintang di langit dan pemandangan ladang cabai yang ada di seberang jalan di depan rumahnya.
Di kamar, Maryam membungkar-bungkar baju yang telah rapi dilipat di dalam almari. Yang ia cari adalah foto Isal. Ia jadi lilinglung. Ia seakan percaya bahwa ada tersimpan foto Isal disitu. Padahal sebelumnya ia tak pernah menyimpan foto itu. Foto dan Isal habis dilumat amuk air waktu di kampung.

"Assalamu'alaikum," terdengar suara dari luar.

Maryam mematung. "Isal," pikirnya. Suara yang ia dengar memang suara Isal. Ya, suara Isal. Maryam menyeka rintik air yang tak mampu ditahan kelopak mata tuannya. "Aku yakin Isal belum mati. Isal selamat. Dan datang untukku malam ini," gumam Maryam.

Dengan langkah setengah berlari, tangan Maryam menyibak kain pintu kamarnya yang bermotif garis-garis tebal horizontal untuk menemui Isal. "Isal...!" Diburunya sumber suara itu. Sampai ia di mulut pintu, tak ada sesiapa ditengoknya. "Isal?! Isal...," panggilnya. Diamatinya ke sekeliling rumah, tetapi tak ada sesiapa juga. Lalu, ia kembali mematung di mulut pintu menghala ke ladang cabai di seberang jalan yang ada di depan rumahnya. Angin sejuk mengelus tubuhnya. Sedangkan bintang di langit yang kalau dibayang-bayangkan masih menyerupai lampu pohon natal.

Kemudian Maryam lebih mematung dari yang mematung. Dipalingkannya tubuhnya menghadap ke dalam rumah. Ia mendengar suara sekawanan babi mengacak-acak isi kamarnya.

                   

Cerpen di atas sudah di terbitkan di Sumut Pos*
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()