pixabay.com |
Cerpen Terjemahan
Surat Kepada Tuhan
Oleh Gregorio Lopes Y Fuentes
SATU-SATUNYA
rumah yang ada di lembah itu berada di atas puncak sebuah bukit kecil. Dari
atas ketinggian seperti itu seseorang bisa melihat sungai dan, di sebelah
pekarangan untuk memelihara ternak, ladang tanaman jagung yang sudah masak yang
di sela‑selanya bertaburan bunga‑bunga kacang merah yang selalu menjanjikan
panen yang baik.
Satu‑satunya yang dibutuhkan bumi adalah
curah hujan atau setidaknya hujan sedikit saja. Sepanjang pagi itu Lencho, yang
sangat mengenal ladangnya, tidak melakukan apapun selain mengawasi langit ke
arah timur laut.
“Sekarang kita benar‑benar akan mendapat
air, Bu.”
Istrinya yang sedang menyiapkan makan
menjawab:
“Ya, insya
Allah.”
Anak‑anak lelaki yang sudah besar sedang
bekerja di ladang sementara yang masih kecil bermain‑main di dekat rumah,
sampai akhirnya si istri memanggil mereka semua:
“Sini makan dulu!”
Saat mereka sedang makan, seperti yang
telah diperkirakan Lencho, tetes‑tetes air hujan yang besar‑besar mulai
berjatuhan. Di sebelah timur laut mendung tebal berukuran raksasa bisa dilihat
sedang mendekat. Udara terasa segar dan nyaman.
Pria itu pergi ke luar untuk melihat
pekarangan tempat memelihara ternaknya, semata‑mata sekedar ingin menikmati
hujan yang mengguyur tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru:
“Yang jatuh dari langit itu bukan
tetesan‑tetesan air hujan tapi kepingan‑kepingan uang logam baru. Yang besar‑besar
sepuluh centavo dan yang
kecil‑kecil lima ….”
Dengan ekspresi yang menujukkan kepuasan
ia memandang ladang jagung yang masak dengan bunga‑bunga kacang merahnya yang
dihiasi tirai hujan. Tapi tiba‑tiba angin kencang mulai berhembus dan bersamaan
dengan air hujan bongkahan‑bongkahan es yang sangat besar mulai berjatuhan.
Bentuknya memang benar‑benar seperti kepingan‑kepingan uang logam perak yang
masih baru. Anak‑anak lelaki yang sedang membiarkan tubuh mereka diguyur hujan
berlari‑larian untuk mengumpulkan mutiara‑mutiara beku itu.
“Sekarang benar‑benar semakin buruk!”
seru pria itu, gelisah. “Kuharap semoga cepat berlalu.”
Ternyata tidak cepat berlalu. Selama
satu jam hujan es itu menimpa rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, di
seluruh lembah. Ladang itu menjadi putih seperti tertimbun garam. Tak selembar
daunpun masih tertinggal di pepohonan. Tanaman jagung itu sama sekali musnah.
Bunga‑bungapun rontok dari tanaman kacang merah. Jiwa Lencho dipenuhi
kesedihan. Ketika badai itu telah berlalu ia berdiri di tengah‑tengah ladangnya
dan berkata kepada anak‑anaknya:
“Wabah belalang masih menyisakan lebih
banyak daripada ini. Hujan es sama sekali tak menyisakan apapun. Tahun ini kita
tidak punya jagung atau kacang ….”
Malam itu penuh kesedihan.
“Semua kerja kita sia‑sia!”
“Tak ada seorangpun yang dapat menolong
kita!”
“Kita akan kelaparan tahun ini ….” Tapi
di hati semua orang yang tinggal di rumah yang terpencil di tengah lembah itu
masih tersisa satu harapan: pertolongan dari Tuhan.
“Jangan terlalu sedih meskipun
kelihatannya seperti kerugian total. Ingatlah, tak ada orang yang mati karena
kelaparan!”
“Itulah yang mereka katakan: tak
seorangpun mati karena kelaparan ….”
Sepanjang malam itu Lencho hanya
memikirkan harapan satu‑satunya: pertolongan dari Tuhan, yang mata‑Nya
(sebagaimana diajarkan kepadanya) melihat segala sesuatu, bahkan sampai ke
dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam sekalipun.
Lencho adalah seorang pekerja keras yang
bekerja seperti binatang di ladang, tapi dia masih bisa menulis. Pada hari ahad
berikutnya, ketika dinihari, setelah meyakinkan dirinya bahwa masih ada zat
yang melindungi, ia mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke
kota dan dimasukkan ke pos.
Itu tidak lain adalah surat kepada
Tuhan.
“Tuhan …,” tulisnya, “kalau Kau tidak
menolongku, aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan
seratus peso untuk menanami
kembali ladangku dan untuk kebutuhan hidup sampai saatnya panen nanti, karena
badai es ….”
Dituliskannya “Kepada Tuhan” di atas
amplop lalu dimasukkannya surat itu kedalamnya, dan masih dengan pikiran dan
perasaan yang galau ia pergi ke kota. Di kantor pos diberinya surat itu
perangko kemudian dimasukkannya ke dalam kotak pos.
Salah seorang pegawai di sana, seorang
tukang pos yang juga ikut membantu di kantor pos itu, mendatangi atasannya
sambil tertawa terpingkal‑pingkal dan memperlihatkan kepadanya surat kepada
Tuhan tadi. Selama karirnya sebagai tukang pos, ia tidak pernah tahu di mana
alamat itu. Sedangkan sang kepala pos, seorang yang gemuk dan periang, juga
tertawa terbahak‑bahak. Namun hampir tiba‑tiba saja ia berubah menjadi serius,
dan sambil mengetuk‑ngetukkan surat itu di mejanya iapun berkomentar:
“Keimanan yang hebat! Seandainya imanku
seperti imannya orang yang menulis surat ini. Punya kepercayaan seperti kepercayaannya.
Berharap dengan keyakinan yang ia tahu bagaimana caranya. Melakukan surat‑menyurat
dengan Tuhan!”
Dengan demikian untuk tidak mengecewakan
keajaiban iman itu, yang disebabkan oleh surat yang tak dapat disampaikan, sang
kepala pos mengajukan sebuah gagasan: menjawab surat tadi. Namun ketika ia
memulainya ternyata untuk menjawabnya ia membutuhkan tidak hanya sekedar
kemauan, tinta dan kertas. Tapi tekadnya sudah bulat: ia memungut iuran dari
para anak buahnya, ia sendi‑ripun ikut menyisihkan sebagian gajinya dan
beberapa orang temannya juga diwajibkan untuk ikut memberikan “sumbangan”.
Akan tetapi tidak mungkin baginya untuk
mengumpulkan uang sebanyak seratus peso,
ia hanya bisa mengirim kepada si petani sebanyak setengahnya lebih sedikit
saja. Dimasukkannya lembaran‑lembaran uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan
kepada Lencho dan bersamanya hanya ada selembar kertas yang bertuliskan satu
kata sebagai tanda‑tangan: TUHAN.
Pada hari ahad berikutnya Lencho datang
sedikit lebih awal daripada biasanya untuk menanyakan apakah ada surat
untuknya. Si tukang pos sendiri yang menyerahkan surat itu kepadanya. Sementara
sang kepala pos, dengan perasaan puas sebagai orang yang baru saja berbuat
kebajikan, menyaksikan lewat pintu keluar‑masuk ruang kerjanya.
Lencho sedikitpun tidak terkejut
menyaksikan lembaran‑lembaran uang tadi, sesuai keyakinannya, namun ia menjadi
marah setelah menghitung jumlahnya. Tuhan tidak akan keliru atau menyalahi apa
yang diminta Lencho!
Segera saja Lencho pergi ke loket untuk
meminta kertas dan tinta. Di atas meja tulis untuk umum iapun mulai menulis
sampai‑sampai keningnya sangat berkerut saking bersemangatnya dalam menuangkan
gagasannya. Setelah selesai ia pergi lagi ke loket untuk membeli perangko yang
lalu dijilat dan kemudian ditempelkannya di atas amplop dengan pukulan kepalan
tangannya.
Setelah surat itu dimasukkan ke dalam
kotak pos, sang kepala pos membukanya. Bunyinya:
“Tuhan, dari uang yang kuminta itu, hanya tujuh puluh peso
saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya kepadaku karena aku sangat
membutuhkannya. Tapi jangan dikirimkan kepadaku lewat pos karena para pegawai
di kantor pos itu adalah orang‑orang brengsek. Lencho.”
Cerpen di atas disalin dari internet*
Advertisement