-->

Header Ads

ads here

Potret di Ruang Tamu

advertise here
inspiratorfreak.com
Cerpen

Potret di Ruang Tamu

Oleh Syafrizal Sahrun



SESAMPAI di ambang pintu, kulihat Mawarti, istriku, duduk di kursi biru yang kubeli – kalau tak hilap – sepuluh tahun lalu. Kursi yang tak pernah berpindah dari ruang tamu. Sebagai seorang suami, pastilah akan tumbuh sukacitanya menyaksikan hal yang demikian. Bila bini menunggu, hilang lelah letih di badan yang muncul dari kesibukan kerja satu harian.

Tapi sungguh, yang ini tidaklah begitu agakku. Muka Mawarti yang masam seperti gulai kari yang tak sempat dipanaskan, menumbuhkan sesal dalam hati ini karena memilih pulang. Maunya tadi aku berlama-lama saja di luar. Ah, Mawarti belakangan ini memang menjengkelkan.

Salamku pun tak dijawabnya. Melirik pun tidak. Ketat mukanya ia halakan ke dinding. Dinding yang dua meter dari dasar ke atas kupajang potretku berjas hitam dengan dasi kupu-kupu terpasang di leher dan begitu mesra memeluk Mawarti dari belakang. Ia adalah pelabuhan cita-cita para pemuda. Begitu cantik dan menawan memakai gaun putih milik bidan ternama di kampung ini.

Kulepas sepatu kulit hitam yang hampir seharian tak dilekang. Sepatu yang tetap kujaga kilaunya walau tumitnya sudah timpang. Kuletakkan sepatu itu di samping pintu. Aku masuk menuju kamar tidur untuk membaringkan bawaanku yang lelah membebani.

“Mengapa cepat pulang? Semestinya berlama-lama saja di sana.” Suara itu keluar dari bibir merah Mawarti. Aku baru saja ingin memegang engkol pintu. Tapi kutangguhkan. Kuturutkan hati untuk memperjelas bagian mana di tubuhku yang ingin ditikam Mawarti dengan ucapannya itu. Kuhalakan hadapku ke mukanya. Keadaannya masih tetap. Bibirnya jadi lebih kecil karena bersungut.

“Tak ada yang cepat dan tak ada yang lambat. Inilah memang waktu yang tepat.”

Dengan ekor mata Mawarti meliriku. Seakan ia ingin memaksaku untuk mengiyakan apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin ia menganggap kejujuranku sebagai kebohongan. Sehingga kebohongan itu harus segera diadili.

“Alasan. Apa kehabisan uang sehingga ia tak mengijinkan kumbang liar menetap lebih lama?”

“Apa maksud perempuan ini?” kata hatiku. Kutatap ia dalam. Kucari-cari salah diriku. Bahkan masalah yang sudah dingin pun kuungkar-ungakar lagi. Tapi sepertinya memang tak ada. “Ati, kenapa? Abang baru pulang. Kalau ada masalah, apakah tidak sebaiknya kita ceritakan nanti?”

“Lebih cepat lebih baik. Sebaiknya kita lekas berce…” Ucapan Mawarti terhenti ditingkahi salam yang datang dari teras depan. Ketegangan dipaksa cair. Suara Mawarti seratus persen berubah saat menyambut salam itu. Kuhimpun udara yang ada di dekatku. Kukumpulkan ke paru-paru lalu kuhempaskan lagi.

Mawarti berdiri. Membetulkan pakaiannya. Sebelum berdiri tadi ia telah menyapu mukanya dengan telapak tangannya. Seakan-akan ia memasang topeng baru untuk mengganti mukanya yang tadi.

Badruddin, duda beranak dua yang saban sore datang ke mari untuk mengutip cicilan hutang prabot dapur kami tegak di teras menghadap ke dalam. Kemeja putih, celana lee yang membungkus tubuhnya yang tegap menambah kegagahannya. Sebuah buku tebal berkulit coklat ada di tangan kanannya. Tangan dengan jemari manis bercincin batu bacan.

“Apa dia mendengar pembicaraan kami?” tanyaku ke dalam diri. Kuterima senyumnya dengan diiringi anggukan kepala. Kubalas seperlunya. Tapi rasanya senyum yang kuterima itu tak sekadar senyum yang sampai di mata lalu sirna. Senyum itu seakan menjalar dari mata, turun ke tengkuk, lalu menusuk ke dada.

Terbayang aku tingkah Mawarti. Bahasa tajam-tajam tadi ia arahkan kepadaku, tapi untuk orang ini malah halus lembut layaknya…., “layaknya dara menerima agamnya,” sesosok di dalam diriku menyambungkan agakku. “Brengsek! Keparat!”

*

Nawawir kurang lebih satu jam keluar dari rumah. Mawarti yang tubuhnya di selubungi daster biru muda bermotif bunga kenanga membersihkan ruang tengah. Pekerjaannya terhenti menyaksikan potret dirinya dan Nawawir lima belas tahun lalu dalam pernikahan mereka.

 “Nawawir. Nawawir.. Kau juga yang berhasil,” gumam Mawarti. Sesungging senyum merekah di bibirnya. Ada yang terbuka di dalam kepalanya. Ia letakkan pantatnya yang bulat ke kursi yang menghala ke dinding tempat terpajang potret itu. Tumbuh rasa dalam dirinya untuk menyelusuri ruang terbuka itu.

Bukan Nawawir benar lelaki yang ada dalam hatinya. Tetapi kedatangan Nawawir malam itu ke dalam pikirannya membuat ia membongkar pasang kedudukan Badruddin yang sudah mantap dengan Nawawir. Setelah ia mengetahui ulah Badruddin yang menabung dalam rahim perempuan lain. Hancur hatinya seperti piring kaca yang di hempaskan ke batu. Tak ada yang dapat dipertahankan lagi.

Nawawir dengan Badruddin sungguh jauh api dari panggang. Baik dari wajah, gaya, dan harta. Kecemerlangan itu sudah gugur dari mata Mawarti. Baginya sekarang yang penting adalah kesetiaan. Kesetian dalam bahtera rumahtangga adalah ibarat nyawa dengan badan.

Nawawir bukanlah lelaki yang gemar bertingkah pola dihadapan Mawarti. Tidak seperti lelaki-lelaki lain yang sok ramah dan sok perhatian bila berjumpa. Nawawir memang lain. Tetapi Mawarti tahu bahwa lelaki itu suka mengamatinya. Lebih sering tersenyum kalau berjumpa dari pada menjual tanya yang merupakan basa basi belaka.

Nawawir memang lain. Mawarti merasa Nawawirlah lelaki yang harus dipilihnya. Kadangkala jodoh itu datang begitu saja.

 “Assalamualaikum…” sebuah salam melompat entah dari mulut siapa, tetapi suaranya suara perempuan. Mawarti terjaga dari lamunnya seperti orang yang terjaga dari tidur karena disirahkan air ke mukanya. “Eh, Waalaikum salam…” jawaban itu seiring dengan gerak lehernya yang ingin menyaksikan tamu yang datang.

Perempuan gemuk dengan anak yang kira-kira berusia tiga tahun dalam gendongannya masuk dan duduk di kursi yang ada di ruang tengah sebagai mana yang disarankan Mawarti.

Setelah bercakap-cakap tentang hal-hal remeh-temeh, bola mata bulat milik si tamu liar menelanjangi seisi rumah. Memperhatikan apa yang dapat ia jangkau diikuti gerak kepalanya yang di topang lehernya yang panjang. “Lakimu mana?” kata si tamu.

Mawarti mengerut kening. Keheranan terbit di hatinya mendengar pertanyaan itu. “Kenapa? Ada perlu dengan dia?”

“Ah, tidak. Malah aku perlu dengan kau. Ada yang perlu kau tahu.”

Mawarti makin curiga. Apa sebenarnya mau perempuan ini. Biarpun perempuan yang ada di mukanya ini pernah – menurut kabar – menjalin cinta dengan lakinya ketika dulu masih remaja, Mawarti tak pernah menaruh curiga kalau-kalau cinta itu akan bersemi kembali. Malah dia sangsi kalau-kalau lakinya menjadi bahan gunjing seperti laki-laki yang lain.

Tamunya itu sudah terkenal sebagai ratu gunjing di dusun ini. Ada saja yang menjadi bahan lezat untuk digarap sebagai buah bibir. Walau demikian, ingin juga Mawarti mengetahui apa sebenarnya yang akan disampaikan tamunya itu. “Nawir sudah pergi dari tadi. Kenapa?”

“Syukurlah. Kau tahu sesungguhnya setiap laki butuh penerus.” Mata perempuan itu tertuju pada potret di dinding. Kemudian memutar kepalanya ke arah Mawarti, “Ya. Anak maksudku.” “Apa kau tak curiga dengan Nawir yang pulang lebih gelap dari biasa belakangan ini?”

Terbakar hati Mawarti menangkap makna ucapan itu. Memiliki anak merupakan cita-cita yang sampai kini belum juga terwujud. Ia pun merasa sepi. Sering hatinya terturih bila melihat anak-anak kecil. Kenapa tak datang anak itu dari rahimku, katanya bila mengingat hal itu.

“Belum rezeki, Kak. Lagi pula aku tahu bagaimana Nawir.”

“Apa kau tahu apa yang ia lakukan di luar? Misalnya di sela-sela pekerjaannya atau sepulang kerja?” 

Mawarti terdiam sejurus. Si tamu meneruskan lagi, “kau jangan marah ya. Kemarin aku bertemu dengan dia. Seorang perempuan di boncengnya dan seorang anak kecil duduk di depan. Kau tak curiga kalau ia punya simpanan?”

“Ah, Kak. Itu tak mungkin.” Jawaban yang keluar dari mulut Mawarti berbelok dari bahasa hatinya. Di dalam dirinya muncul bahasa-bahasa yang mendorong-dorong pagar kesabarannya. Ingin merubuhkannya. Ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan perselingkuhan muncul pelan-pelan dari dasar hatinya. Ketakutan-ketakutan yang ia benam dalam-dalam. Layaknya hantu yang diseru dengan jampi, muncullah ia dari kuburnya untuk menyatakan dirinya. Mawarti menarik nafas panjang, lalu menghempaskannya pada kebebasan.

“Alangkah berengseknya Nawir bila hal itu benar. Sungguh lelaki yang tak kadar diri. Tak tahu diuntung,” keluh hayati diruang paling sunyi dirinya.

*

“Oh. Aku tahu sekarang. Pantas saja kau demikian. Laksana burung yang terkukung dan minta di lepaskan karena ada sangkar yang lebih indah dari apa yang didiaminya,” tukas Nawawir menyaksikan Badruddin lepas dari halaman.

“Apa maksudnya?”

“Ternyata dia orang yang telah memberi pengaharapan lebih kepada burung itu.”

“Jangan buang pelawa. Jangan libatkan orang untuk menutupi kesalahan.”

Nawawir masuk ke kamar. Mawarti telah berdiri berkecak pinggang di bawah potret pernikahan menghala ke pintu tengah untuk menyaksikan Nawawir keluar kamar. Tak makan waktu lama, Nawawir keluar tanpa bawaannya lagi.

“Kalau aku inginkan dia, dari dulu pun sudah.”

“Ah, itukan dulu. Sekarang beda. Itu jelas terlihat dari caramu memperlakukannya itu. Kau masih mencintainya dan menginginkan untuk bersamanya, bukan?”

“Kau memang lelaki tak tahu diuntung.” Kemarahan Mawarti sudah sampai ke ubun-ubun. Kemarahan menguasai dirinya sepenuhnya. Mukanya merah padam dan tubuhnya terasa bergetar bukan kepalang.

Mendengar ucapan bininya itu, Nawawir merasa direndahkan. Ia ingat lima belas tahun silam. Mendapati perempuan yang hampir tak punya kekuatan untuk hidup karena gantungan hatinya teramat tega berhianat. Memang bukan semata-mata kasihan melihat hal itu lalu ia menikahi Mawarti, melainkan ada pula api cinta. Dan cinta itu pula yang menjadi-jadi setelah mesaksikan derita orang yang dicinta.

Akal sehat sudah menepi dari diri Nawawir. Ia pun turut pula dibutakan amarah. Seraya diseru pula hantu-hantu dari kubur kebimbangannya untuk bangkit menyatakan keberadaan.

“Kau yang tak tahu diuntung. Tak tahu dikasihani. Kalau tidak karena aku, mungkin kau sudah dipasung atau tenggelam dalam bujuk rayu tali gantungan atau racun!”

“Anjing, kau!” Mawarti kalap. Ia dekati meja tamu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Membungkuk. Meraih pas bunga kramik lalu melayangkannya dengan penuh birahi ke potret yang ada di dinding, yang menyaksikan pertengkaran mereka. Seakan-akan ia tak rela membiarkan kemesraan yang tergambar dalam potret itu menghinakan kemelut yang tengah di rasa. Mereka berdua pun bermandi serpihan kaca.


Percut, 2015
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()