SAYAP
nol besar di puncak menara itu
memperlihatkan siluet burung-burung pemakan
bangkai beterbangan, menitipkan bebulu rontok
di dasar menara, seorang ayah seorang anak
duduk terpuruk, dikepung kematian
di luar sana, lilin-lilin sedang menyala
menghangatkan mereka, ketika
sebuah ide tumbuh bagaikan jamur
di balik batok kepala sang ayah:
ia pun memungut bebulu berserakan,
saling merekatkan dengan cairan lilin,
membentuk sepasang sayap yang pas
berada di tubuh sang anak.
“terbanglah, anakku,
seperti burung-burung pemakan bangkai itu.
bermigrasilah ke pulau seberang, di mana
kematian masih serupa hewan liar berhibernasi.
tapi jangan terlalu dekat dengan matahari!”
sang anak mengepak sayap, perlahan terbang
melewati nol besar, lalu bangkai-bangkai manusia
di bawah sana, orang-orang berpedang
membunuh orang-orang tak berpedang.
tiba-tiba sepasang sayap merah tumbuh
di hatinya, tumbuh keajaiban yang hanya
mungkin ada di ketinggian seperti ini:
sang anak pun berteriak kegirangan,
terbang semakin tinggi, semakin jauh
dari kematian di bawah sana, tak menyadari
sepasang sayapnya berkeringat:
lilin dilelehkan panas mentari.
*
para pelaut berpedang menemukan
sang anak menjerit meminta tolong.
di atas laut itu, burung-burung pemakan
bangkai mulai mengepung.
(Denpasar, Februari 2019)
*Sumber: Kompas, 30 Maret 2019
Mengenal Zelfani Wimra
*Sumber: Kompas, 30 Maret 2019
Mengenal Zelfani Wimra
Advertisement