-->

Header Ads

ads here

Sarung Pemberian

advertise here
Oleh Syafrizal Sahrun


analisadaily.com


CUACA begitu panasnya. Debu dan asap kenderaan bersilang-silang di udara. Trafic light patuh mengatur lalu lintas, tapi pengendara cuma menganggapnya sebagai benda yang tak dapat berbuat apa-apa. Suara klakson kendaraan laksana sahut-sahutan siamang di hutan.

Tak tahan dengan panasnya cuaca dan dahaga yang menimpa, Hamid memberhentikan kereta di dekat terminal Aksara. Ia memarkirkan keretanya di dekat pagar pembatas dan mengambil kursi yang sudah disediakan penjual es cendol yang selalu mangkal di sana.

“Kasih satu, Bang!”

“Enggih, Mas.”

Sambil si tukang cendol menyiapkan pesanan Hamid, ia tolehkan pandangannya ke terminal itu. Sekarang terminal ini sedikit rapi, tak seperti dulu. Penjual-penjual buah, sayur, ikan, dan lainnya sudah diberi tempat yang bisa dibilang layak. Ia keluarkan sapu tangan yang bersarang di saku kemejanya, lalu dilapkan ke wajahnya. “Aih mak, Bedaki betul ah!” gumamnya melihat sapu tangan itu.

“Ini, Mas!”

“Oh, ya. Terima kasih.”

Setelah mengambi es itu, ia kacau, lalu dihirupnya. Hmm.. Pas gula merahnya, pas leganya. Ia ambil cendol hijau menggoda yang terbenam di dasar gelas. Lumayan mengganjal perut yang lapar. Lalu-lalang kenderan begitu kacau dihadapan.

Seorang lelaki tua dengan bungkusan dikepit di ketiak kanannya berjalan menyelip-nyelip dari angkot-angkot yang mengantre di terminal itu. Tubuhnya bongkok udang, rambutnya beruban dan sedikit panjang. Mengenakan kemeja berlengan pendek dengan celana keper hitam yang digulung bagian bawahnya.

Orang itu berjalan menuju ke arah gerobak es cendol. Selop yang ia seret memunculkan debu yang mengekori langkah kakinya. Ia sudah berada di pagar pembatas itu memperhatikan lalu-lalang kenderaan. Mukanya kusam disantap debu jalanan. Tubuhnya gemetar.

Gelas yang dipegang Hamid tinggal setengah isinya. Tapi kini dahaga yang bersarang ditenggorokannya sudah lumayan mereda. Ada bau keringat yang begitu dekat. Ia tolehkan lagi kepalanya ke arah terminal yang ada di belakangnya. Baunya semakin kuat. Oh, ternyata ada orang yang sudah berdiri di belakanganya. Hamid menatap wajah orang itu dan begitu juga sebaliknya. Orang itu tersenyum, Hamid pun membalasnya.

Tinggal di kota seperti ini memang tak perlu ramah-ramah. Orang-orang di kota sangat individualis. Istilahnya: kau kau, aku aku. Tidak seperti di kampung. Tapi tak ada salahnya membalas senyum. Lagi pula hanya senyum.
Hamid mengembalikan pandangannya. Menikmati sisa es yang ada di genggamannya. Orang yang ada di belakangnya tadi melangkah. Ketika Hamid menoleh ke kanan, eh, orang itu sudah berada di sampingnya.

Sebagai orang yang tinggal di kampung dengan budaya kampung yang masih terbawa, tak ada salahnya bila menawari orang yang hajab ini dengan segelas cendol: cendol, Pak?

“Hem..” orang yang di panggilnya dengan sebutan bapak itu tersenyum. “Ya. Terima kasih.”

Tanpa diperintah, tangan orang itu dipanjangkan menjeput kursi plastik yang ada di samping gerobak cendol. Orang itu menariknya dan meletakkannya di samping Hamid. Lalu ia meletakkan pantatnya perlahan. Bungkusan yang semula ia kepit di ketiaknya, kini sudah berpindah ke pangkuannya.

“Mau kemana, Pak?”

“Belawan. Ke tempat anak.”

“Naik angkot, Pak?”

“Iya.”

“Minum dulu, Pak. Sambil menunggu.”

“Iya. Terima kasih, Nak.”

Dengan jiwa kekampungannya, Hamid meminta segelas es cendol lagi. “Apalah arti segelas cendol, tak juganya langsung miskin awak gara-gara itu”. Begitulah bahasa hatinya yang tersimpan.

“Minum ya, Pak, ya!”

“Tak payahlah, Nak. Tak usah repot-repot.”

“Alah, Pak. Tak Apa. Sambil-sambil menunggu angkot.”

Karena pelanggan lain tak ada, segelas es cendol pun cepat siapnya.

“Ini, Mas.”

Hamid mengambil es itu dengan tangan kanannya – tangan kirinya memegang gelas es cendol miliknya – dan memberikannya kepada orang tua itu.

“Aduh, Nak. Jadi merepotkan.”

Sambil menikmati es cendol dengan iringan musik perkotaan yang serampangan, mereka berdua melanjutkan percakapan.

Wajah orang itu berubah. Makin kuyu. Ia menceritakan keadaan anaknya yang sedang sakit keras yang sekarang hanya terbaring di rumah dengan perawatan seadanya. Biaya rumah sakit cukup mahal untuk menampung sakit anaknya. Apa lagi yang hendak di jual. Rumah di Belawan itu pun bukan pula rumah sendiri, melainkan paluh yang di tepinya didirikan rumah seadanya – bila tak mau dibilang gubuk. Pekerjaan melaut saat ini cuma bisa untuk biaya makan. Itu pun kadang kurang.

“Tak ikut BPJS, Pak?”

Orang tua itu menggeleng. “Susah, Nak. Kata orang ngurusnya mesti satu keluarga dan biayanya perbulan pula. Tau ‘lah nak bekerja jadi nelayan ini. Rezeki Harimau. Kadang ada dapat kadang terhutang. Sempat lagi angin kencang, cemanalah mau bayarnya.”

“Berapa orang anak Bapak?”

“Empat. Yang paling besar di Malaysia. Yang nomor tiga di Batam.”

“Apa can di sana?”

“Kerja di rumah makan.” Wajah orang tua itu bertambah kuyunya. Air matanya berlinang-linang. “Tapi itu lah, Nak. Sampai kini saya tak tau harus menanyakan kabar pada siapa.”

Hamid ikut terharu mendengar pengakuan orang itu. Dari pembicaraan mereka, ia dengar bahwa anak orang tua itu yang sakit kira-kira seumuran dirinya.

Tak lama kemudian angkot ke Belawan berhenti di depan mereka. Menurunkan sewa. Hamid menunjukkannya pada lawan bicaranya. Orang itu menegukkan es cendolnya, mengucapkan terima kasih pada Hamid, lalu membuka bungkusannya. Ia keluarkan kain sarung yang terlipat rapi yang di bungkus dengan plastik kaca.

“Ini, Nak. Sebagai rasa terima kasih saya.”

Kain itu ia letakkan di pangkuan Hamid. Tanpa Hamid sempat bertanya tentang kain, orang tua itu terburu pergi menaiki angkot dan melaju segera.

#

Beberapa hari belakangan ini di Medan sedang hangatnya berita keberadaan sarung pembawa maut. Kabarnya sarung itu merupakan muslihat seorang yang sedang mendalami ilmu hitam. Untuk kesempurnaan ilmunya itu, ia memberikan kain sarung dengan segala modus kepada orang dan hari kemudian orang yang diberi sarung itu akan mati tak wajar.

Pelakunya kabarnya kakek-kakek. Ada yang bilang ia datang dari Binjai. Di sana kabarnya sudah ada korbannya. Ada yang bilang kakek itu datang dari pulau Jawa dan mencari mangsa di Medan. Kabarnya pula sudah ada tumbal dari kota ini. Ada pula yang bilang pembawa sarung itu bukan kakek- kakek, melainkan nenek-nenek. Ada pula yang bilang kalau mereka sepasang – kakek dan nenek. Mereka sedang mendalami ilmu hitam. Bermacam-macamlah tanggapan orang dari hal itu. Tapi sampai sekarang belum ada korban yang pasti untuk dijadikan pegangan. Masih sekadar kata orang-orang.

Cerita itu seperti penyakit menular yang diidap masyarakat di kota ini. Sampai pula ke kampung Hamid. Dari mulai anak-anak sampai emak-emak asik saja menceritaakan tentang sarung pembawa maut itu. Kakek sarung. Begitulah orang-orang menamainya.

Konon, kakek itu akan datang menjumpai orang per orang. Dengan alasan yang beragam, ia akan berusaha memberikan sarung maut itu. Misal dengan menjual sarung itu dengan harga murah, menukarkannya dengan beras atau makanan, memberikannya dengan cuma-cuma sekadar sebagai tanda terima kasih.

Apa? serkadar terima kasih? Alahmak. Terkejut betul Hamid mendengar cerita yang disampaikan Halimah – Istrinya – selepas makan malam itu. Seolah-olah nyawanya tercerabut. Lalu ia seolah berada di siang yang terik. Di sebuah terminal dengan segelas es cendol penghilang dahaga dan pengganjal rasa lapar. Seorang lelaki separuh baya dengan bungkusan dikepit di ketiak kanannya berjalan menyelip-nyelip dari angkot-angkot yang mengantre di terminal itu. Tubuhnya bongkok udang, rambutnya beruban dan sedikit panjang. Mengenakan kemeja berlengan pendek dengan celana keper hitam yang digulung bagian bawahnya. Serta kain sarung yang ditinggalkan pemiliknya di pangkuannya tanpa sempat ia bertanya untuk apa.

Halimah memandangi wajah lakinya yang terlihat kosong itu. Mengernyitkan kening dan menyemai tanya dalam dada.

“Bang! Oh, Bang!”

Si Abang membatu.

Halimah pun memegang bahu suaminya. Menggoyang-goyangnya perlahan. Tergoyang-goyanglah badan lakinya itu.

“Hah. Sarung?” Ucapan itu entah pada siapa ia lontarkan.

“Ada apa, Bang?”

“Iya. Sarung.” Tatapannya masih kosong. Hamid bangkit dari silanya. Bergegas masuk ke kamar. Halimah ditinggal sendiri dengan seribu tanya yang menyemak di dalam diri.

Hamid keluar dengan bungkusan di tangan kanannya. Berplastik kaca. Dia kembali duduk di tempatnya semula dan meletakkan bungkusan itu di depan mereka.

“Kain baru, Bang?”

Hamid menggeleng.

“Hmm. Atau alih-alih kain kakek sarung?” Tanya Halimah dengan nada menyindir.

Hamid menatap tajam wajah bininya itu. Seakan-akan ada kewas-wasan tumbuh subur dalam dirinya. Seakan sekejap itu ia terbayang bila mana salah satu dari mereka jadi tumbal. Bagaimanakah bila Halimah menjadi janda? Atau bagaimana jadinya bila Halimah yang jadi korban kecerobohannya? Ah, Melihat perangai lakinya itu, Halimah pun bertambah takut.

“Entahlah. Tapi yang jelas kain ini dikasih seseorang. Orang tua. Kakek-kakek.” Jawab Hamid perlahan.

Mereka hening. Cicak-cicak yang biasa ceksond ikut hening pula. Suara detak jam dinding pun seakan diperbesar. Angin bersiur-siur menyelinap dari pentilasi jendela.

“Ah. Abang nakut-nakuti aja!” Halimah merapat dan condong ke tubuh Hamid semacam meminta perlindungan.

“Ini Betul, Dek.”

Mereka pun tampak ketakutan. Seolah-olah kain itulah yang menjadi malaikal maut yang akan merentap ruh mereka dari cangkangnya. Seketika itu pula mereka lupa dengan kotbah-khotbah yang sering mereka dengar: kematian itu datangnya dari Tuhan. Bukan dari dari sarung.

“Jadi cemana, Bang? Lekaslah buang benda ‘tu malam ‘ni

“Kemana mau dibuang?”

“Kemanalah, Bang. Asal jangan dia di dekat kita.”

#

Jam dinding menunjukkan pukul dua pagi. Halimah sudah lelap, memunggungi Hamid di atas katil. Lakinya itu telentang  dengan tangan kanannya tertumpu di kening. Apa yang ia pikirkan? Tepat. Pastinya tentang sarung itu. Sarung maut.

Apa benar cerita itu? Jika tidak, alangkah berdosanya aku membuang pemberian orang. Tapi jika itu benar? Ah. Hamid terus berdebat dengan dirinya menerjemahkan  sarung itu.

Ia pun bangkit dari goleknya. Duduk di tepi katil. Menghadap ke lemari pakaian. Lama ia merenungi dirinnya dan wajah istrinya yang pulas di depan cermin yang ada di lemari. Jauh menembus sosok di cermin. Setelah beberapa menit, ia bangkit dan membuka lemari itu perlahan. Mengeluarkan tas kerjanya yang ada di rak paling bawah. Membuka resletingnya dan mengeluarkan kain sarung itu. Istrinya tak tau kalau kain itu belum dibuang.

Ada rasa takut akan bahaya dari kain itu. Tapi bila mengenang mengapa kain itu diberikan dan masalah hidup yang ditanggung orang yang memberikannya, berat hatinya untuk membuangnya.

Ia meyakinkan diri bila pun maut itu akan datang, ia tak ‘kan dapat ditunda. Bila pun kain ini yang menjadi penyebab kematiannya, Wallahu’alam! Ia kuatkan diri, bahwa itulah jalannya.

Ia pergi membawa kain itu ke perigi. Meletakkannya di atas mesin air. Lalu dengan membaca doa, ia pun mengambil air sembahyang. Ia mau sembahyang tahajjud memakai kain itu. Ia berharap bila pun ilmu hitam itu datang, ia sudah berlindung di bawah kekuasaan Tuhan. Apa bila ilmu hitam itu mitos belaka, ia ingin meminta di dalam sujudnya agar pemberi kain itu dan masalah yang dihadapinya diberikan kemudahan dalam menghadapi permasalahan hidup yang menjeratnya.

Sesampai di kamar dan menutup pintu, ia kembali duduk di tepi ranjang. Istrinya begitu pulasnya. Ia buka kain itu perlahan dengan membaca basmallah. Jantungnya berdebar – debar. Di pandangnya sekali istrinya. Pelastik itu pun di buka. Ia keluarkan kainnya yang masih terlipat rapi. Ia kerpaskan. Krebakkkk.. Ada benda yang terlempar dari dalam lipatan kain itu dan menghantam lemari. Ada pula suara logam yang menghempas ke lantai dan menggelinding. Istrinya terbangun. Ia sibuk mencari benda itu. Meraba di kolong katil. Semacam lipatan kertas, agak sedikit berat. Ia mengeluarkannya dari kegelapan bawah katil.

Alangkah terkejutnya Hamid. Benda itu adalah lipatan duit puluhan ribu. Sebagian ada pula duit logam yang berserakan. Ia bertambah bingung dengan adanya duit itu. Dan memandang kepada istrinya.

“Ada apa, Bang?” tanya istrinya curiga.

Wajahnya menyiratkan kerisauan. Ia mengangkat tangan kanannya yang di penuhi duit. Lalu berdiri dengan mengangkat sarung yang ada di tangan kirinya. Seraya menunjukkan kepada istrinya.

“Banyak duit, Abang?” ujar istrinya ketika melihat tumpukan duit di tangan kanan Hamid. Saat mengalihkan pandang ke tangan lakinya yang satunya lagi. Rasa sejuk menyergap Jantung Halimah. Tubuhnya seketika menggigil.

“Aaaaaaaaaauu……!!!” jerit Halimah melengking memecah keheningan.

                     


(Cerpen di atas sudah diterbitkan di Harian Analisa, 6 Juni 2018)
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()